Kamis, 11/12/2025 21:42 WIB

Mengapa Lapar Bisa Bikin Emosi? Studi Baru Jelaskan Mekanisme `Hangry`





Rasa mudah tersulut emosi ketika lapar alias hangry begitu umum hingga sering dianggap wajar

Ilustrasi - Lapar Bisa Bikin Emosi (Foto: Icons8 Team/Unsplash)

Jakarta, Jurnas.com - Rasa mudah tersulut emosi ketika lapar alias hangry begitu umum hingga sering dianggap wajar. Banyak orang mengira penyebabnya adalah gula darah yang turun drastis. Namun, sebuah studi terbaru justru membalik asumsi itu. Bukan gula darah yang merusak mood, melainkan kesadaran kita terhadap rasa lapar itu sendiri.

Penelitian ini melibatkan pemantauan glukosa selama empat minggu sambil peserta melaporkan rasa lapar, kenyang, dan suasana hati melalui aplikasi. Hasil observasi natural tersebut memperlihatkan bahwa gula darah dapat turun tanpa memengaruhi emosi apa pun, selama sinyal lapar belum muncul dalam kesadaran.

Temuan ini menegaskan bahwa rasa lapar berperan sebagai pemicu emosional yang lebih kuat daripada fluktuasi glukosa itu sendiri. Ketika lapar muncul sebagai sensasi yang jelas, barulah mood ikut bergeser dan memunculkan reaksi yang selama ini dikenal sebagai “hangry”.

Penjelasan ini sejalan dengan kutipan para peneliti dari University of Tübingen Dr. Kristin Kaduk yang menyatakan bahwa penurunan mood hanya terjadi ketika tubuh menyadari kekurangan energi. Dengan demikian, pengalaman emosional bukan sekadar respons biologis, tetapi hasil interpretasi kita terhadap sinyal tubuh.

“Ketika kadar glukosa turun, suasana hati juga memburuk. Namun efek ini hanya terjadi karena orang kemudian merasa lebih lapar,” kata Dr. Kristin Kaduk dilansir dari Earth.com, pada Kamis (11/12).

“Dengan kata lain, bukan kadar glukosa itu sendiri yang menaikkan atau menurunkan mood, melainkan seberapa kuat kita secara sadar merasakan kekurangan energi tersebut,” sambungnya.

Untuk memperdalam gambaran tersebut, para peneliti juga menilai kemampuan interoception atau kepekaan seseorang terhadap kondisi internal tubuh. Mereka menemukan bahwa individu dengan kepekaan lebih baik justru memiliki emosi yang lebih stabil meski glukosa berfluktuasi.

Temuan itu menunjukkan bahwa kesadaran tubuh dapat berfungsi sebagai bantalan psikologis yang membantu menahan gejolak emosi. Karena itu, interpretasi sinyal internal tampak lebih menentukan keadaan mood dibanding besarnya perubahan metabolik itu sendiri.

Studi ini berbeda dari riset sebelumnya yang berbasis eksperimen laboratorium dengan kontrol ketat dan hasil sering tidak konsisten. Melalui pengamatan kehidupan nyata yang dinamis, pola hubungan lapar dan mood justru muncul dengan lebih jelas dan konsisten.

Meski peserta memiliki latar belakang fisik, aktivitas, dan sensitivitas insulin yang beragam, hasil utamanya tetap seragam. Rasa lapar secara konsisten menjadi faktor yang menjelaskan mengapa suasana hati memburuk saat energi menurun.

Implikasi ini membuka peluang baru dalam memahami kesehatan mental dan metabolik, khususnya pada kondisi seperti depresi atau obesitas yang sering melibatkan gangguan regulasi tubuh. Para peneliti bahkan menyoroti potensi pelatihan interoception dan stimulasi saraf vagus untuk meningkatkan kepekaan terhadap sinyal lapar.

Harapannya, peningkatan kesadaran tubuh dapat membantu seseorang mengenali tanda lapar lebih awal sehingga mood tetap stabil sepanjang hari. Dengan begitu, pengalaman “hangry” tidak lagi dianggap sekadar reaksi spontan, tetapi bagian dari cara tubuh dan pikiran saling memberi isyarat. (*)

Sumber: Earth

KEYWORD :

Ras Lapar Tersulut Emosi Fenomena Hangry Pemantauan Glukosa




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :