Kamis, 11/12/2025 00:44 WIB

Wamentrans Pimpin Ziarah dan Tabur Bunga di Makam Pionir Transmigrasi





Dalam suasana yang dibalut doa dan tabur bunga, Wamentrans menegaskan bahwa para calon transmigran yang menjadi korban adalah pribadi-pribadi dengan niat mulia

Wakil Menteri Transmigrasi (Wamentrans) Viva Yoga Mauladi melakukan tabur bunga dalam rangkaian Upacara Hari Bhakti Transmigrasi (HBT) ke-75 di Makam Pionir Transmigrasi, Desa Sukra, Indramayu, pada Rabu (Foto: Humas Kementrans)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Menteri Transmigrasi (Wamentrans) Viva Yoga Mauladi, menyerukan penghormatan mendalam dan doa terbaik bagi para pionir transmigrasi yang gugur dalam tragedi kecelakaan bus di Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada 11 Maret 1974.

“Dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kesabaran dan ketabahan. Kami di sini hadir untuk mengenang kembali para pionir transmigrasi,” ujar Wamentran saat memimpin Upacara Hari Bhakti Transmigrasi (HBT) ke-75 di Makam Pionir Transmigrasi, Desa Sukra, Rabu (10/12/2025).

Dalam suasana hening yang dibalut doa dan tabur bunga, Viva Yoga menegaskan bahwa para calon transmigran yang menjadi korban adalah pribadi-pribadi dengan niat mulia, mereka ingin mengubah hidupnya menjadi sejahtera.

Dengan lahan yang diberikan oleh pemerintah, para transmigran yang telah menempati kawasan transmigrasi akan mengolah lahan yang diberikan. Perjuangan yang dilakukan sangat berat, berada di tempat yang sepi, jauh dari perkampungan masyarakat, serta alam yang belum dikuasai.

Mereka juga memiliki mental yang kuat sebab harus meninggalkan kampung halaman di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Tak mudah orang meninggalkan asal usulnya. “Namun hidup itu pilihan dan mereka memilih ikut transmigrasi,” tutur Wamentrans.

Dengan ketelatenan, kesabaran, dan keuletan, para transmigran mampu mengubah lahan-lahan kosong menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan peradaban baru. “Peran transmigran di masa Orde Baru disebut sebagai pahlawan pembangunan. Kalau sekarang kita sebut patriot bangsa,” ujarnya.  

Disebut patriot bangsa sebab kehadiran transmigran di kawasan terdepan dan terluar wilayah Indonesia itu juga sekaligus menjaga NKRI. “Mereka juga melakukan akulturasi budaya dan perkawinan sehingga menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa”, ujarnya.

Sejak transmigrasi dilakukan secara resmi oleh Presiden Sukarno pada tahun 1950, selepas generasi pertama tiba di kawasan transmigrasi, mereka beranak pinak hingga muncul generasi pertama, kedua, ketiga, bahkan keempat.

“Generasi selanjutnya hidupnya sudah semakin mapan, sejahtera. Mereka mengisi berbagai sendi kehidupan dari menjadi kepala daerah, anggota DPRD, kepala desa, akademisi di tingkat kabupaten maupun provinsi,” ujarnya.

“Di pusat juga ada yang menjadi anggota DPR dan jabatan lainnya,” tambahnya.

Di Makam Pionir Transmigrasi, Viva Yoga selain melakukan tabur bunga di pusara-pusara juga memberi santunan kepada para korban yang selamat, yakni Suyamto dan Jaelani. Santunan juga diberikan kepada Suyanto sebagai penjaga makam.

Sementara itu, Suyamto masih ingat ketika Kelas II SD, ayahnya memutuskan untuk ikut transmigrasi. Ayahnya mengatakan kepada keluarga, cara inilah (transmigrasi) yang bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Pada hari yang ditentukan sebanyak 70 orang yang terdiri dari kepala keluarga, istri, dan anak diberangkatkan dari Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menuju ke kawasan transmigrasi di Lampung dan Lubuk Lingau Sumatera Selatan.

Dalam perjalanan tidak ada firasat buruk dari para calon transmigran dan keluarganya. Ada dalam benak mereka hanya cepat tiba di kawasan transmigrasi dan menempati rumah dan lahan seluas 2 Ha dari pemerintah.

Namun nasib manusia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ketika bus yang membawa 70 orang itu melaju di Desa Sukra, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tepatnya di jembatan yang menghubungkan Indramayu dan Kabupaten Subang, bus itu adu banteng dengan bus yang dari arah berlawanan. “Braaak...”, benturan kuat itu menimbulkan suara yang keras.

Benturan dua bus tidak membuat badan bus ringsek namun juga menimbulkan kobaran api, “kobaran api itulah yang merenggut nyawa bapak, ibu, saudara, dan calon transmigrasi lainnya”, ujar Suyamto. Dari 70 penumpang, selamat tiga bocah, dua diantaranya itu adalah Suyamto dan Jaelani. Dari 67 korban yang meninggal, semua dimakamkan di lahan yang tidak jauh dari jembatan itu yang sekarang disebut Makam Pionir Transmigrasi.

Peristiwa yang terjadi pada 11 Maret 1974 itu membawa duka bagi semua terutama Kementerian Transmigrasi (Kementrans). Untuk mengenang peristiwa yang tidak diharapkan itu, setiap tahun Kementrans dalam memperingari Hari Bhakti Transmigrasi (HBT) yang jatuh pada 12 Desember melakukan tabur bunga dan doa bersama yang dikemas dalam satu rangkaian upacara.

KEYWORD :

Wakil Mentrans Viva Yoga Mauludi Hari Bhakti Transmigrasi Pionir Transmigrasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :