Rabu, 10/12/2025 13:13 WIB

DPR Desak Reformasi Total Sistem Keamanan Digital Nasional





Pemerintah harus segera menerapkan Zero Trust sebagai standar nasional, membangun Cyber Defense Backbone dengan BSSN sebagai komando tunggal.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat keamanan digital menyusul meningkatnya serangan siber terhadap infrastruktur negara serta maraknya disinformasi yang terorganisir di berbagai platform digital.

Menurutnya, dua ancaman ini tidak dapat dipandang sebagai isu terpisah, melainkan saling berkaitan dan berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

“Serangan siber yang berulang, termasuk insiden PDN, dan penyebaran disinformasi yang masif menunjukkan bahwa negara kita belum memiliki sistem pertahanan digital yang benar-benar kokoh. Ini bukan lagi ancaman teknis, tetapi ancaman terhadap ketahanan bangsa,” ujar Sukamta dalam keterangan resminya, Selasa (10/12).

Politikus PKS ini menjelaskan, Indonesia kini menghadapi hybrid threat, yaitu gabungan antara serangan teknis dan manipulasi informasi.

Ia menilai bahwa kerentanan keamanan siber pemerintah serta lemahnya pengawasan terhadap ruang digital membuat masyarakat mudah menjadi korban kebocoran data, hoaks, dan operasi buzzer destruktif yang mengganggu ruang demokrasi.

Karenanya, ia menegaskan perlunya reformasi total sistem keamanan digital nasional, khususnya melalui implementasi strategi Active Cyber Defense yang lebih proaktif dan terintegrasi.

“Pemerintah harus segera menerapkan Zero Trust sebagai standar nasional, membangun Cyber Defense Backbone dengan BSSN sebagai komando tunggal, dan memastikan audit forensik terhadap insiden siber dilakukan secara independen serta transparan,” jelas Sukamta.

Legislator PKS dari Dapil DI Yogyakarta itu menjelaskan, kelemahan tata kelola keamanan digital juga diperparah oleh rendahnya tingkat maturitas keamanan informasi di berbagai instansi.

Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah menargetkan seluruh instansi mencapai Indeks Keamanan Informasi (KAMI) Level III dalam waktu 12 hingga 18 bulan.

Tak hanya soal serangan teknis, Sukamta juga menyoroti bahwa disinformasi, deepfake, dan aktivitas buzzer terorganisir kini menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial dan politik Indonesia.

“Disinformasi harus diperlakukan sebagai ancaman nasional. Kita perlu membangun kerangka nasional integritas informasi, sistem deteksi dini berbasis AI, dan memperkuat literasi digital 2.0 agar masyarakat lebih tangguh menghadapi manipulasi ruang digital,” tegasnya.

Ia juga mendorong penguatan regulasi melalui penyusunan UU Keamanan Siber/Ketahanan Digital dan revisi UU ITE untuk memasukkan pengaturan tegas terhadap operasi buzzer destruktif. Menurutnya, pelindungan ruang digital tidak cukup hanya bergantung pada mekanisme delik aduan.

Selain itu, Sukamta meminta pemerintah untuk mempercepat pembangunan Digital Situational Awareness Platform, yaitu sistem nasional yang dapat memantau opini publik, aktivitas bot, disinformasi, serta pola serangan siber secara real-time.

“Tanpa sistem pemantauan terpadu, negara akan terus tertinggal dari pola serangan digital yang berkembang sangat cepat. Kita membutuhkan teknologi setingkat negara maju untuk melindungi rakyat,” katanya.

Dalam penutupnya, Sukamta menegaskan bahwa ketahanan digital adalah bagian dari kedaulatan negara yang tidak bisa ditunda lagi.

“Keamanan siber dan integritas informasi menentukan masa depan bangsa. Jika reformasi ini tidak segera dilakukan, kita berpotensi menghadapi kerugian ekonomi, instabilitas sosial, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap negara. Komisi I DPR RI berkomitmen untuk mengawal reformasi digital secara menyeluruh,” pungkasnya.

 

 

Warta DPR, Komisi I, Sukamta PKS, keamanan digital, darurat keamanan

 

KEYWORD :




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :