Ilustrasi suami istri tidur berpelukan sebagai bentuk keharmonisan (Foto: Doknet)
Jakarta, Jurnas.com - Pelukan hangat sering terasa menenangkan, dan sains kini menemukan alasannya. Riset terbaru mengungkap bahwa petunjuk suhu di kulit ikut membentuk identitas diri, kestabilan emosi, hingga cara kita merasa “hadir” dalam tubuh sendiri atau menguatkan identitas diri.
Para peneliti menemukan bahwa perubahan kecil pada suhu kulit dapat langsung menggeser fokus internal seseorang. Respons lembut ini menunjukkan hubungan antara tubuh dan otak. Rangsangan panas atau dingin mengalir melalui jalur saraf menuju thalamus dan insula, area otak yang mengolah sensasi termal, kesadaran tubuh, serta pengaturan emosi.
Bagian posterior insula memproses suhu secara otomatis, sementara bagian anterior membantu kita menilai sensasi hangat atau dingin secara sadar. Parietal lobe kemudian memberi landasan spasial, membuat kita tahu bagian tubuh mana yang sedang kita rasakan.
Sejak awal sejarah manusia, suhu menjadi faktor kunci perkembangan. Iklim dingin mendorong nenek moyang kita memiliki tubuh lebih besar untuk mempertahankan panas, sementara sentuhan hangat, terutama pada bayi baru lahir, menjadi fondasi penting bagi keberlangsungan hidup dan pembentukan ikatan sosial.
Kontak kulit-ke-kulit bukan hanya menjaga bayi tetap hangat, tetapi juga membantu mereka membangun kesadaran tubuh dan rasa aman. Efek ini terus memengaruhi cara manusia tumbuh secara emosional dan sosial hingga dewasa.
Eksperimen neuropsikologi menunjukkan bahwa suhu kulit dapat memengaruhi “ownership illusion”, sensasi ketika seseorang merasa memiliki anggota tubuh palsu. Stimulus hangat cenderung mengurangi ilusi tersebut, sementara dingin memperkuatnya. Pada beberapa pasien dengan kerusakan otak kanan, gangguan rasa memiliki tubuh sering disertai penurunan suhu tangan dan sensitivitas panas-dingin.
Temuan ini mengaitkan suhu kulit dengan fungsi insula dan koneksi thalamo-parietal yang penting bagi kesadaran tubuh. Gangguan serupa kerap muncul dalam kondisi seperti trauma, gangguan mood, dan gangguan makan.
Suhu ekstrem juga berdampak pada kognisi: dingin tajam dapat melemahkan memori, sedangkan panas berlebih mengganggu fokus. Para ahli memperingatkan bahwa kenaikan suhu global bisa memicu distorsi halus dalam persepsi tubuh dan keseimbangan emosional manusia di masa depan.
Saat kita memeluk seseorang, kombinasi sentuhan dan kehangatan memicu jalur interoseptif menuju insula, meningkatkan oksitosin, menurunkan stres, dan memperkuat rasa memiliki tubuh.
Menurut Dr. Laura Crucianelli dari Queen Mary University of London kehangatan fisik mengingatkan manusia bahwa mereka terhubung dan dihargai, sehingga identitas emosional menjadi lebih stabil.
“Warm touch reminds us that we are connected, valued, and part of a social world,” ujar Dr. Laura Crucianelli.
Dua kerangka ilmiah kini menjelaskan fenomena tersebut, yakni regulasi internal dan pengalihan sumber daya dari bagian tubuh yang tidak lagi terasa sebagai “milik sendiri”. Keduanya menegaskan bahwa suhu kulit adalah pilar yang membentuk kehadiran, ketenangan, dan identitas manusia. (*)
Temuan ini dipublikasikan dalam Trends in Cognitive Sciences. Sumber: Earth
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Pelukan Hangat Identitas Diri Rasa Nyaman

















