Sabtu, 06/12/2025 14:14 WIB

Menteri PPPA Sebut Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Tinggi, Ini Datanya





Menteri PPPA beberkan hasil SPHPN 2024; 1 dari 10 perempuan atau sekitar 10% selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangannya

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi (Foto: Kementerian PPPA)

Jakarta, Jurnas.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merilis Analisis Mendalam Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024. 

Menteri PPPA, Arifah Fauzi memparkan, dalam SPHPN itu di antaranya menyebutkan bahwa 1 dari 10 perempuan atau sekitar 10% selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangannya.

“Temuan tahun 2024 menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Analisis mendalam hasil SPHPN 2024 menunjukkan 1 dari 10 perempuan selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangannya," kata Menteri PPPA dalam keterangan resmi dikutip pada Sabtu (6/12).

Selain itu, kata Menteri PPPA, 1 dari 6 perempuan di Indonesia selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh selain pasangan. Prevalensi perempuan yang mengalami kekerasan seksual lebih tinggi dibanding kekerasan fisik oleh selain pasangan, baik setahun terakhir maupun selama hidup.

"Kekerasan psikologis, kekerasan berbasis elektronik, serta kerentanan perempuan disabilitas juga meningkat. Hal ini menuntut langkah perlindungan yang lebih cepat, terarah, dan terintegrasi,” ujar Menteri PPPA.

Menteri PPPA menyebutkan 28% dari perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan melaporkan menderita cedera.

“Di antara perempuan yang mengalami cedera, 40% perempuan mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual beberapa kali (2 hingga 5 kali), 38% mengalaminya sekali, dan 20% mengalami lebih dari lima kali bentuk kekerasan. Di antara perempuan yang menderita cedera, mayoritas mengalami goresan, lecet, dan memar, dengan hampir 85% pernah mengalaminya," kata Menteri PPPA.

"Dampak kekerasan yang dialami lainnya seperti keseleo, luka bagian dalam, gendang telinga rusak, cedera mata, luka sayat, patah tulang, luka karena bacokan, patah gigi dan luka bakar. Luka fisik ini meninggalkan bekas trauma yang mendalam,” ujar Menteri PPPA lagi.

Salah satu bentuk kekerasan yang juga mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah praktik sunat perempuan. Menteri PPPA menyatakan praktik sunat Perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru berisiko jangka panjang.

“Praktik sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru berisiko jangka panjang. Tahun 2021 sebanyak 50,5% perempuan pernah mengalami sunat perempuan sedangkan dari hasil SPHPN tahun 2024, jumlah perempuan yang mengalami sunat perempuan mulai menurun (46,3%)," kata dia.

"Yang menyedihkan, sekitar 41,4 persen praktik sunat perempuan melibatkan tindakan yang menyebabkan pelukaan sesuai kriteria WHO pada bagian sensitif perempuan dan hampir separuhnya dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pemerintah berkomitmen menghentikan praktik sunat perempuan melalui regulasi yang lebih kuat, edukasi publik, dan kolaborasi lintas sektor,” tambah Menteri PPPA.

Hasil analisis mendalam SPHPN tahun 2024 memberikan gambaran nyata tentang kekerasan terhadap perempuan dan praktik sunat perempuan di Indonesia. Data ini, menurut Menteri PPPA, bukan hanya membuka fakta di lapangan, tetapi menjadi fondasi penting bagi kebijakan yang benar-benar berbasis bukti.

Melihat angka kekerasan terhadap perempuan dan juga anak masih tinggi, Menteri PPPA mendorong penguatan pencegahan berbasis data, peningkatan kapasitas UPTD PPA, perbaikan mekanisme pelaporan, dan pemberdayaan ekonomi perempuan.

Hingga Juli 2025, kata Menteri PPPA, masih ada 4 provinsi dan 147 kabupaten/kota yang belum memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), sehingga akses layanan komprehensif belum merata.

"Kami melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah untuk memiliki komitmen menyediakan UPTD PPA sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 463/5318/SJ tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Surat edaran ini mempertegas upaya negara dalam melindungi masyarakat dimana ada kewajiban daerah untuk membentuk UPTD PPA sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” kata Menteri PPPA.

KEYWORD :

Menteri PPPA Arifah Fauzi Kekerasan Terhadap Perempuan SPHPN 2024




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :