Rabu, 03/12/2025 17:51 WIB

Pakar hingga Peneliti Dukung Seruan Cak Imin Soal Taubat Ekologis





Sejumlah pakar hingga peneliti mendukung seruan Menko PM Abdul Muhaimin Iskandar, mengenai taubat ekologis menyusul bencana alam di Sumatra

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Sejumlah pakar hingga peneliti mendukung seruan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Abdul Muhaimin Iskandar, mengenai taubat ekologis, menyusul bencana banjir dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Pakar Hukum Agraria, Dr. Syaiful Bahri, mengatakan bahwa banjir Sumatra perlu ada evaluasi radikal terhadap kebijakan pengelolaan hutan,kebijakan pemberian izin tambang, kebijakan pinjam pakai penggunaaan lahan, dan kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

"Saya sepakat dengan pernyataan Cak Imin, semua harus bertaubat, taubat dengan sungguh-sungguh. Banjir Sumatra bukan kesalahan iklim, banjir Sumatra merupakan kesalahan sistemik. Ibarat bom Waktu, iklim hanya factor pemicunya, akar masalahnya banyak," ujar Syaiful pada Rabu (3/12).

Menurut Syaiful, banjir Sumatra disebabkan dua hal. Pertama, pulau ini memiliki populasi tinggi, sedangkan daya dukung ekologi terbatas. Kedua, perkembangan usaha ekstratif yang masiff.

Perkembangan usaha ekstratif ini berfokus pada pengambilan dan pengolahan sumber daya alam secara langsung dari alam untuk menjadi produk yang bermanfaat.

Kegiatan ini meliputi pertambangan (minyak, gas, mineral), kehutanan (kayu, rotan), pertanian (padi, jagung), perikanan (ikan), dan peternakan (hewan ternak). Usaha ekstraktif melibatkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang ada di bumi, lalu diolah menjadi produk jadi di pabrik.

"Dua poin ini tidak dilihat negara sebagai ancaman. Padahal ini sudah berlangsung sangat lama. Bahkan, lahan usaha ekstratif Sebagian besar tidak diperuntukan untuk rakyat. Dari puluhan juta hektar yang tersedia, hanya segelintir yang berada di tangan rakyat. ini lah penyebab konflik horizontal dan konflik vertikal," kata dia.

Padahal, lanjut Syaiful, telah tertera dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa yang mengatur hidup dan hajat orang banyak dikuasai negara. Dalam pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) mengatur tentang sistem perekonomian Indonesia.

Ayat (1) menyatakan perekonomian disusun atas dasar kekeluargaan, ayat (2) mengamanatkan cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Pemerintah harus kembali pada pasal 33 ayat 1,2,3. Berupaya mewujudkan pasal tersebut untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia," ujar dia.

Dia juga meminta Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai melakukan peruabahan paradigma untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

Syaiful mencontohkan, pengelolaan hutan plasma, perusahaan perkebunan besar (inti) mengelola lahan yang berasal dari masyarakat sekitar (plasma) tidak mengalami perkembangan.

Padahal, program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal agar ikut serta dalam pengembangan perkebunan dan menikmati manfaat ekonomi secara bersama-sama.

"Kalau begini terus bukan tidak mungkin peristiwa memilkukan yang terjadi di Sumatra juga akan terjadi di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pemerintah harus mulai mengubah cara berpikir ulang cara mengelola hutan dan sumber daya mineral," ujar Syaiful.

Pernyataan senada dilontarkan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Syamsurijal Adhan. Menurut dia, pernyataan Menko PM perlu didukung. Sebab, penanganan banjir Sumatra butuh evaluasi besar, evaluasi mendasar, evaluasi radikal.

"Saya menyampaikan duka yang mendalam atas peristiwa ini. Kalau Menko PM menggunakan istilah taubatan nasuha, saya menggunakan istilah taubat struktural. Taubat struktural ini, taubat dengan sungguh-sungguh dalam membuat kebijakan, taubat cara pandang dalam membuat kebijakan, taubat ekologi," kata dia.

Syamsurijal berkata, iklim sering kali disalahkan, dijadikan kambing hitam atas bencana yang terjadi di Indonesia. Padahal, iklim hanya pemicu dari kesalahan kebijakan yang diambil pemerintah terkait alih fungsi lahan dan pertambangan. Belum lagi, disulapnya hutan primer menjadi hutan tanaman industri.

"Tata kelola lingkungan harus dilakukan evaluasi mendalam, evaluasi radikal agar cara pandang kebijakan kita berubah. Orientasi keilmuan pun menjadi berubah," dia menambahkan.

Syamsurijal menambahkan bahwa peristiwa banjir Sumatra terjadi karena masyarakat lokal tidak lagi dilibatkan dalam membuat kebijakan, terutama yang terkait dengan hutan, energi, dan tambang. Faktanya, lanjut dia, masyarakat lokal yang berhasil secara turun temurun menjaga hutan.

"Sayangnya, dengan kebijakan yang salah, dan cara pandang yang salah, mereka malah di sebut perusak hutan karena berpidah-pindah tempat tinggal," ucap Syamsurijal.

Syamsurijal mencotohkan kebijakan yang kurang tepat, misalnya penerapan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan tersebut secara terang-terangan merusak hutan primer. Namun, dengan alasan peningkatan daya serap karbon, hutan tanaman industri diberikan ruang.

"Padahal fungsi kedua hutan tersebut berbeda. Makanya, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap izin hutan, izin tambang, kalua perlu dilakukan moratorium," kata dia.

"Hutan tanaman industri bukan secara terang terangan merusak hutan primer, tapi HTI tidak bisa mengganti fungsi hutan primer. Harus hati hati mengembangkan HTI, karena bisa jadi secara terselubung pengembangan HTI bisa berarti deforestasi hutan primer," dia menambahkan.

Sementara itu, aktivis pemerhati sawit, Mansuetus Darto sepakat dengan pernyataan Menko PM Muhaimin Iskandar. Dia memandang perubahan oreintasi kebiajakan harus dilakukan secara fundamental.

"Pemikiran saya lebih radikal, Menteri Kehutanan dan Menteri EDSM harus bertanggung jawab atas peristiwa banjir Sumatra," kata Darto.

Darto meminta pemerintah segera melakukan moratorium perizinan pengunaan lahan kehutanan dan izin tambang. Dia juga meminta pemerintah melakukan konversi hutan dan rehabilitasi pasca tambang.

"Isu lingkungan selama ini dianggap isu receh, sehingga pemerintah selalu berlindung di balik kata musibah dan bencana. Kenyataanya, ribuan nyawa menghilang hanya karena pemerintah menganggap angin lalu isu lingkungan," dia menambahkan.

Dia mewanti-wanti pemerintah untuk lebih fokus membuat kebijakan terkait rehabilitasi pasca tambang. Sebab, di Indonesia izin pertambangan mudah didapat ketimbang melakukan rehabilitasi pasca tambang.

KEYWORD :

Banjir Sumatra Abdul Muhaimin Iskandar Taubat Ekologis Cak Imin




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :