Ilustrasi - Mengenal Filosofi Baduy dalam Menjaga Hutan, Alam, dan Kehidupan (Foto: RRI)
Jakarta, Jurnas.com - Ketika banyak wilayah di Tanah Air diterjang banjir, longsor, hingga krisis air bersih setiap musim hujan atau cuaca ekstrem, kawasan Baduy di pedalaman Banten kerap tetap tenang. Tidak ada bencana besar, kerusakan hutan minim, aliran sungai tidak merusak.
Ketahanan ekologis ini bukan kebetulan, melainkan hasil komitmen panjang masyarakat Baduy dalam menjaga titipan leluhur. Di antaranya ialah leuweung atau hutan dan lingkungan hidup.
Bagi masyarakat adat Baduy, hutan bukan aset ekonomi atau ruang produksi. Hutan adalah amanah, bagian dari kehidupan, dan sumber penopang ekosistem yang harus dijaga apa adanya.
Filosofi itu terangkum dalam dua prinsip utama: “panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung” serta “jangan ada gunung dilebur, lebak dirusak, aturan adat diubah." Filosofi ini menjadi dasar kuat pengelolaan hutan adat yang oleh masyarakat Baduy dianggap sebagai amanah leluhur yang tidak boleh diubah.
Masyarakat Baduy percaya bahwa kelalaian menjaga amanah tersebut dapat menimbulkan malapetaka ekologis atau bencana ekologis besar bagi manusia dan lingkungan sekitar.
Dikutip dari berbagai sumber, kawasan Baduy adalah wilayah hulu penting di Provinsi Banten, dilewati sejumlah daerah aliran sungai (DAS) seperti Ciujung, Cisimeut, Ciberang, dan Cimadur. Kerusakan lingkungan sedikit saja akan berdampak langsung pada hilir, mulai dari banjir bandang, kekeringan, hingga krisis air bersih.
Namun masyarakat Baduy memproteksi ruang hidup mereka dengan ketat. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001, wilayah ulayat Baduy seluas 5.101 hektare, yang terdiri dari 3.101 hektare hutan lindung dan sekitar 2.000 hektare area permukiman 68 kampung Baduy Luar dan tiga kampung Baduy Dalam, tetap terjaga kesatuannya.
Setiap pohon yang akan ditebang wajib melalui izin lembaga adat. Bahkan dalam praktiknya, warga lebih memilih menanam daripada membabat. Setiap tahun, warga Baduy melakukan penghijauan dengan menanam beragam tanaman agar ekosistem tetap hidup dan seimbang.
Tugas menjaga hutan bagi masyarakat Baduy bukan hanya untuk Banten, tetapi untuk Jawa. Mereka meyakini telah diberikan amanat untuk melindungi keutuhan hutan di lima belas gunung yang mereka sebut sebagai Leuweung Pangahuban.
Deretan gunung itu membentang dari barat ke timur pulau Jawa, di antaranya ialah Sanghiang Sirah, Honjek, Kembang, Liman, Kendeng, Bongkok, Madur, Antrawiyah, Arpat, Sanggahbuana, Gangpanjang, Sirahsikancrah, Gangmanik, Karangilat, dan Gede.
Deretan gunung itu menjadi satu kesatuan ekosistem yang menurut keyakinan Baduy akan membawa bencana jika dirusak.
Sebagian kawasan ini berada dalam Taman Nasional Halimun-Salak dan Ujung Kulon, sementara sisanya berada pada wilayah penggunaan lain yang status hukumnya belum sepenuhnya jelas. Namun masyarakat Baduy tetap merasa memiliki kewajiban adat untuk mengawasi kondisi hutan dan mata air dengan melakukan inspeksi rutin sedikitnya sekali setahun.
Selain menjaga hutan, masyarakat Baduy membagi wilayah mereka dalam tiga zona, yaitu hutan larangan yang sama sekali tidak boleh diganggu, hutan garapan untuk kebutuhan hidup, dan hutan paniisan sebagai kawasan penyangga sumber air. Pembagian ini membuat tata kelola lingkungan berjalan sesuai adat tanpa perlu teknologi modern.
Komitmen mereka juga disampaikan melalui tradisi Seba Baduy, yaitu perjalanan kaki ke pusat pemerintahan sebagai bentuk syukur sekaligus pesan bahwa mereka tetap menjaga warisan alam. Tradisi ini memperkuat hubungan antara masyarakat adat dan negara dalam konteks perlindungan lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah berupaya memperkuat perlindungan hukum terhadap tanah adat Baduy melalui rencana penerbitan sertifikat tanah ulayat oleh ATR/BPN. Meski prosesnya berjalan, regulasi daerah lama dinilai belum memadai sehingga muncul dorongan dari tokoh adat untuk merumuskan perda perlindungan baru.
Pemerintah Provinsi Banten sebelumnya telah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Desa Adat yang diapresiasi masyarakat Baduy karena dianggap melindungi nilai budaya. Namun pemerintah kabupaten masih didorong untuk memperbarui regulasi agar perlindungan tanah, adat, dan lingkungan dapat berjalan lebih komprehensif.
Upaya legislasi itu menjadi penting karena tekanan modernisasi membuat wilayah adat rawan intervensi luar dan perubahan tata ruang. Dengan regulasi yang lebih kuat, masyarakat Baduy berharap hutan yang mereka rawat selama berabad-abad tetap menjadi penyangga kehidupan bagi generasi berikutnya.
Warisan kearifan Baduy menunjukkan bahwa pelestarian alam dapat berjalan melalui disiplin adat dan kesadaran ekologis tanpa eksploitasi berlebihan dari sumber daya alam. Karena itu cara hidup mereka menjadi contoh bahwa keberlanjutan tidak selalu ditentukan oleh teknologi tinggi, tetapi oleh rasa hormat yang mendalam pada alam.
Di tengah krisis iklim, filosofi Baduy dalam menjaga hutan, alam, dan kehidupan menjadi pengingat penting bahwa kelestarian bukan sekadar agenda pembangunan, tetapi cara hidup. (*)
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
FIlosofi Hidup Suku Baduy Jaga Hutan Adat Baduy Pelestarian Hutan



























