Ilustrasi - orang yang sedang sakit batuk (Foto: iStock/Prostock-Studio)
Jakarta, Jurnas.com - Rasa ingin menarik diri dari kehidupan sosial saat sakit sering muncul sebelum gejala lain mereda, sehingga rencana mendadak dibatalkan dan rasa ingin menyendiri terasa lebih masuk akal. Fenomena ini tampak universal di berbagai spesies, namun mekanismenya selama ini belum benar-benar dipahami.
Sebuah studi baru kini menjelaskan mekanisme tersebut: bagaimana sistem imun memberi sinyal pada otak untuk mengurangi interaksi sosial, khususnya ketika saat sakit. Penemuan ini membuka cara pandang baru mengenai hubungan antara infeksi dan perilaku.
Para peneliti dari MIT dan Harvard memulai penelitian ini dengan menelusuri peran berbagai sitokin, sebab molekul imun tersebut meningkat saat tubuh melawan infeksi. Mereka menguji hewan-hewan seperti tikus yang sakit dan menemukan bahwa hanya interleukin-1 beta (IL-1β) yang mampu memicu perilaku menarik diri dari interaksi sosial seperti saat hewan benar-benar sakit.
Dampaknya terlihat jelas ketika tikus berhenti mendekati sesamanya, sementara perlambatan gerak ternyata berasal dari mekanisme lain. Dengan demikian, keputusan untuk menyendiri bukan karena tubuh lelah, tetapi dipicu oleh proses di dalam otak.
Untuk memahami proses itu, tim menelusuri di mana IL-1β bekerja dalam otak dan menemukan bahwa dorsal raphe nucleus (DRN) adalah wilayah yang paling responsif. Letaknya yang strategis membuatnya mudah menerima sinyal imun, dan fungsinya dalam mengatur perilaku sosial memperkuat keterkaitan ini.
DRN memiliki neuron berreseptor IL-1R1 yang banyak di antaranya menghasilkan serotonin, sehingga sinyal IL-1β segera meningkatkan aktivitas saraf di wilayah ini. Aktivasi buatan terhadap neuron tersebut bahkan membuat tikus menjauh dari interaksi sosial meski tidak sedang sakit.
Sebaliknya, ketika neuron tersebut diblok, dorongan menarik diri hilang walau hewan tetap tampak letih. Temuan ini mempertegas bahwa perilaku isolasi ketika sakit adalah keputusan aktif yang muncul dari sistem saraf, bukan sekadar dampak fisik.
Dari sini, peneliti ingin mengetahui jalur mana yang mengubah sinyal saraf itu menjadi tindakan. Mereka memetakan berbagai koneksi keluar dari DRN dan menguji masing-masing jalur menggunakan optogenetika.
Hasilnya menunjukkan hanya satu jalur yang benar-benar mengatur penarikan diri sosial, yaitu hubungan antara DRN dan intermediate lateral septum. Ketika jalur ini diaktifkan, tikus secara konsisten menghindari kontak dengan sesamanya.
Konsistensi itu terbukti lagi ketika eksperimen diulang dalam kondisi infeksi Salmonella, karena pola aktivitasnya identik: IL-1β mengaktifkan DRN, lalu DRN menyalakan lateral septum, dan dorongan bersosialisasi pun menurun. Hubungan berurutan ini memperjelas bagaimana sinyal imun diterjemahkan menjadi perilaku.
Meski begitu, para peneliti menekankan bahwa banyak pertanyaan masih terbuka mengenai seberapa dalam hubungan imun-otak ini bekerja. Mereka menduga ada sinyal-sinyal lain yang bekerja bersamaan atau saling menyeimbangkan selama infeksi.
Pertanyaan mengenai apakah neuron DRN juga mengatur perilaku sakit lainnya dan seberapa besar peran serotonin masih menjadi perhatian lanjutan. Jika serotonin merespons sinyal imun dengan cara yang lebih luas, maka keterkaitan tubuh dan pikiran bisa jauh lebih kuat dari perkiraan sebelumnya.
Keterkaitan itu dapat membantu menjelaskan mengapa nafsu makan, motivasi, atau stres berubah saat seseorang sakit, termasuk mengapa beberapa infeksi meninggalkan dampak psikologis jangka panjang. Hubungan ini juga membuka peluang penelitian baru mengenai bagaimana otak memutuskan prioritas selama pemulihan.
Studi ini menunjukkan bahwa menarik diri ketika sakit bukan reaksi pasif, melainkan keputusan strategis yang dibuat otak untuk meminimalkan risiko dan menghemat energi. Keputusan ini melindungi individu yang sehat sekaligus memberi ruang bagi tubuh untuk pulih.
Dengan begitu, tubuh tidak sekadar merespons infeksi secara fisik, tetapi melakukan penyesuaian perilaku yang terarah melalui kerja sama erat antara sistem imun dan sistem saraf. Rangkaian proses inilah yang kini mulai terjelaskan berkat penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Cell ini. (*)
Sumber: Earth
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Berinterkasi Sosial Sistem Imun Infeksi dan Perilaku

























