Kamis, 27/11/2025 20:12 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara





Keberadaan Bandara di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, dinilai ganjil.

Eks Ketua Komisi III DPR, Pieter Zulkifli Simabuea

Jakarta, Jurnas.com - Keberadaan Bandara di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, dinilai ganjil. Sebab, sebuah bandara sibuk mengatur lalu lintas pesawat namun di luar pengetahuan negara.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH. dalam catatan analisisnya menyebut fenomena ini sebagai kedaulatan yang dilepas begitu saja, bukan dicuri. Dia mengingatkan kedaulatan tidak roboh oleh tekanan, melainkan oleh keberanian untuk diam.

Ironinya, pintu masuk orang dan barang tetap bekerja tanpa kendali negara, sementara pemerintah masih berkutat pada klarifikasi dan rapat koordinasi.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan jika negara hanya berani hadir lewat wacana, jangan kaget bila suatu hari republik harus meminta izin untuk masuk ke wilayahnya sendiri.

"Bandara IMIP beroperasi tanpa kontrol negara. Kedaulatan absen, korporasi justru berkuasa, seolah republik hanya tamu di wilayahnya sendiri," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Kamis, 27 November 2025.

Menurutnya, kedaulatan negara tidak hanya diukur dari kemampuan mengelola wilayah darat dan laut. Ruang udara pun merupakan yurisdiksi publik yang hanya boleh dikelola oleh negara.

Dia menyatakan di Morowali, Sulawesi Tengah, prinsip ini dipertaruhkan. Bandara internasional yang dibangun di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) beroperasi, namun negara justru hadir seolah sebagai penonton, bukan pemegang otoritas.

"Bangunan fisiknya berdiri megah. Pesawat hilir-mudik mengangkut tenaga kerja dan tamu perusahaan namun administrasi penerbangan tidak sepenuhnya berada dalam kontrol negara. Sorotan publik pun memuncak: bagaimana mungkin sebuah bandara tumbuh dan beroperasi, tetapi kehadiran negara justru samar? Bandara itu sejatinya bukan fasilitas ilegal," katanya.

Bandara ini tercatat resmi di Kementerian Perhubungan dengan kode ICAO WAMP dan IATA MWS, berstatus bandara domestik non-kelas, serta berada dalam pengawasan Otoritas Bandara Wilayah V Makassar. Di atas kertas, semuanya tampak sah. Namun di lapangan, negara justru tak tampak.

"Tidak ada jejak otoritas bandara, tidak terlihat aparat keamanan, imigrasi, maupun bea cukai. Aksesnya bahkan tertutup rapat, seolah sebuah infrastruktur publik yang berubah menjadi wilayah privat," katanya.

Dalam konteks inilah, kata Pieter Zulkifli, frasa yang beredar di tengah masyarakat menjadi sangat relevan untuk diperhatikan secara serius. Bandara IMIP dipersepsikan sebagai bandara yang berdiri dan beroperasi tanpa adanya kontrol negara.

"Ada apa? Siapa yang mengizinkan? Jika ini pelanggaran kedaulatan, mengapa negara diam? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sebatas kegaduhan publik. Ia menyinggung inti persoalan kebernegaraan: kewenangan tidak boleh didelegasikan pada korporasi," katanya.

Dia menyebut hal itulah yang memicu kemarahan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsuddin ketika mengunjungi kawasan tersebut. Setelah melihat bandara di IMIP, Sjafrie menyebut fenomena ini sebagai `republik di dalam republik`.

Istilah yang tidak sekadar retorik, melainkan penegasan bahwa kedaulatan negara tidak boleh dinegosiasikan dalam teritori industri. Ketertutupan bandara ini juga memicu kecurigaan publik, seolah ada aktivitas yang luput dari pengawasan nasional.

Dia mengatakan secara regulasi, bandara IMIP dikategorikan sebagai bandara khusus. Sebagai bandara privat, Pieter Zulkifli tidak diwajibkan memiliki pos imigrasi, bea cukai, maupun akses lalu lintas umum.

"Prosedur keimigrasian dapat dilakukan di bandara keberangkatan atau transit, seperti Jakarta atau Makassar. Dengan demikian, status khususnya bukan persoalan. Namun, ketika status tersebut berubah menjadi ketertutupan total dari kontrol pemerintah, di situlah permasalahan sesungguhnya bermula," ucapnya.

Pieter Zulkifli mengungkapkan dalam hukum penerbangan, negara tetap wajib hadir pada seluruh fasilitas yang menjadi bagian dari kedaulatan ruang udara. Status khusus tidak boleh menghapus fungsi negara sebagai pengawas keamanan, regulator penerbangan, dan pemegang otoritas penuh atas masuk keluarnya manusia maupun barang.

Karena itu, pemerintah seharusnya menempatkan aparatnya di area privat tersebut: otoritas bandara, keamanan pertahanan, bahkan imigrasi dan bea cukai jika diperlukan sesuai tingkat risiko operasional.

Menurutnya, ketidakhadiran negara menciptakan ruang abu-abu yang berbahaya: ruang udara diawasi oleh perusahaan, pergerakan logistik tidak terlihat, dan mobilitas tenaga asing tidak terpantau. Kritik publik pun menguat.

"Jika ingin menertibkan, tidak diperlukan banyak bicara. Tindakan tegas harus dilakukan terhadap siapapun, dari pejabat pusat hingga daerah. `Copot dan periksa semua pejabat yang selama ini terlibat` demikian dorongan yang hidup di masyarakat. Kritik ini tidak dapat dianggap sebagai desakan emosional, tetapi peringatan terhadap melemahnya fungsi kontrol negara," katanya.

Pieter Zulkifli berpandanga negara seharusnya tidak hanya mengawasi, tetapi memastikan setiap entitas penerbangan tunduk pada hukum publik. Bandara tidak sekadar tempat keberangkatan dan kedatangan.

"Ia adalah pintu kedaulatan. Jika pintu itu dibiarkan dijaga oleh kepentingan privat, maka kedaulatan telah diperdagangkan.

Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat dan efektif. Audit regulasi mutlak dilakukan," katanya.

Dia mengatakan penegakan hukum harus menyentuh pejabat yang lalai, bukan hanya operator di lapangan. Transparansi perizinan dan pengelolaan bandara privat harus diatur secara ketat dan proaktif.

"Negara hadir bukan untuk menghambat pertumbuhan investasi, tetapi memastikan bahwa pertumbuhan itu tidak menyingkirkan prinsip dasar bernegara.

Kedaulatan tidak boleh tunduk pada investasi. Bandara tidak bisa lahir tanpa negara," katanya.

"Dan ruang udara tidak boleh dipinjamkan hanya karena ada industri yang tumbuh pesat. Jika negara ingin dihormati, ia harus terlebih dahulu menghormati dirinya sendiri dengan menegakkan hukum pada wilayah yang menjadi haknya," timpalnya.

KEYWORD :

Bandara IMIP Indonesia Morowali Industrial Park Bandara di Morowali Hilangnya Kedaulatan Negara




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :