Rabu, 26/11/2025 13:43 WIB

Rahasia Baru Letusan Gunung Api, Mengapa Magma Kaya Gas Bisa Tetap Tenang?





Selama ini kekuatan letusan gunung api dikaitkan dengan satu hal utama: gelembung gas. Namun penjelasan itu masih menyisakan teka-teki atau rahasia

Gunung Api aktif (Foto: BPBD Salatiga)

Jakarta, Jurnas.com - Selama ini kekuatan letusan gunung api dikaitkan dengan satu hal utama: gelembung gas. Saat magma naik, tekanan menurun, gas terlarut membentuk gelembung, dan dorongan itu bisa membuat magma “meledak” menjadi abu

Namun penjelasan itu menyisakan kejanggalan ketika magma yang kental dan kaya gas justru keluar perlahan seperti pada fase awal Mount St. Helens dan Quizapu.

Karena itu sebuah studi baru yang dipimpin Olivier Bachmann dari ETH Zurich memperkenalkan faktor lain yang selama ini terabaikan, yakni shear atau gaya geser di dalam saluran magma. Temuan ini menghadirkan sudut pandang baru yang menjelaskan bagaimana gelembung dapat terbentuk tanpa penurunan tekanan.

Di dalam saluran yang sempit, magma mengalir dengan kecepatan berbeda antara bagian inti dan dinding saluran, sehingga perbedaan kecepatan ini menghasilkan shear yang menguleni magma. Proses pengulenan itulah yang dapat memicu gelembung jauh di kedalaman sekaligus mempercepat kemunculan gelembung lain saat satu gelembung mulai terbentuk.

“Semakin banyak gas yang dimiliki magma, semakin sedikit gaya geser yang dibutuhkan untuk membentuk dan menumbuhkan gelembung,” kata Bachmann dilansir dari Earth.com pada Rabu (26/11).

Karena shear paling kuat terjadi di sepanjang dinding saluran, gelembung yang baru muncul akan menjadi katalis bagi gelembung berikutnya. Bachmann menjelaskan bahwa semakin tinggi kandungan gas dalam magma, semakin kecil shear yang dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan gelembung.

Dengan demikian, dua jalur pembentukan gelembung, yakni dekompresi dan shear, menjelaskan mengapa magma yang tampak serupa dapat menghasilkan gaya letusan berbeda. Ketika magma relatif miskin gas, shear kuat mampu memicu banyak gelembung yang mendorong magma menuju fragmentasi dan letusan eksplosif.

Sebaliknya, pada magma yang kaya gas, shear di dekat dinding saluran dapat menghubungkan gelembung menjadi jaringan jalur keluarnya gas, sehingga degassing terjadi lebih awal. Kondisi ini membuat tekanan tidak pernah melonjak dan erupsi bergeser menjadi efusif alih-alih eksplosif.

Hal ini terlihat pada urutan awal erupsi Mount St. Helens 1980, ketika magma muncul perlahan sebagai tanda bahwa gas keluar secara efisien. Baru ketika longsoran besar tiba-tiba membuka sistem dan tekanan anjlok, letusan besar terjadi.

Kerangka baru ini menunjukkan bahwa banyak sistem magma kental mungkin lebih “bocor” dari dugaan, karena shear dapat menciptakan jalur degassing tanpa terdeteksi. Akibatnya gunung api dapat tampak tenang hingga sebuah pemicu eksternal memaksa terjadinya letusan eksplosif.

Untuk menguji mekanismenya, para peneliti membuat analog laboratorium berupa cairan kental jenuh CO₂ yang diberi shear terkontrol. Eksperimen itu menunjukkan bahwa begitu batas shear terlampaui, gelembung langsung terbentuk dan kemunculannya makin mudah ketika kadar gas awal tinggi.

Temuan tersebut sejalan dengan intuisi sehari-hari seperti saat mengaduk madu, karena aliran paling cepat berada dekat alat pengaduk dan paling lambat di dinding wadah. Data eksperimen ini kemudian dimasukkan ke model numerik yang menunjukkan bahwa pembentukan gelembung akibat shear paling kuat di area dengan deformasi terbesar, yaitu di sepanjang dinding saluran magma.

Karena banyak model erupsi masih berfokus pada dekompresi, studi ini mendorong perubahan besar dalam cara ilmuwan menilai bahaya letusan. Dengan memahami pengaruh geometri saluran, kekasaran dinding, laju kenaikan magma, dan kekentalan melt, ilmuwan dapat menilai bagaimana shear memengaruhi jumlah gelembung, kemampuan gas melarikan diri, dan tekanan internal.

Bachmann mengatakan bahwa model yang memasukkan faktor shear akan membantu membaca perubahan emisi gas dan sinyal seismik yang terkait pergerakan magma. Pemahaman ini juga dapat meningkatkan prediksi kapan gunung api beralih dari erupsi efusif ke eksplosif maupun sebaliknya.

Penelitian ini memosisikan gaya letusan sebagai hasil interaksi antara kandungan gas, laju dekompresi, dan shear yang saling memengaruhi. Dengan demikian shear dapat menjadi pendorong letusan pada magma miskin gas atau justru menjadi rem pada magma kaya gas dengan membuka jalur pelarian gas lebih awal. (*)

KEYWORD :

Gunung Api Letusan Gunung Berapi Aliran Magma Gunung Berapi Meletus




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :