Para orang tua mengikuti simulasi pengasuhan anak di Rumah Anak Sigap Desa Saketi, Banten (Foto: Muti/Zakiyah Nuri Syalwana/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - Putri tampak girang usai menyelesaikan puzzle manusia kardus terakhirnya. Kedua bola mata balita 1,5 tahun itu lalu menatap sang ibu, Nunuk Nutiawati, memberi isyarat bahwa dirinya cukup pintar menyelesaikan permainan mudah ini.
"Hore, hebat," kata Nunuk dengan gestur dua jempol, disusul sebuah senyuman yang penuh rasa bangga.
Di bawah atap Posyandu Desa Saketi, Pandeglang, Banten, Putri merupakan satu dari sekelompok balita yang mengikuti program pengasuhan anak dan pencegahan stunting dari Rumah Anak Sigap Tanoto Foundation.
Tentu, bukan tanpa alasan Nunuk meluangkan waktunya untuk `belajar` kembali menjadi orang tua di Rumah Anak Sigap. Menurut dia, pola dan stimulasi pengasuhan anak yang baik berdampak positif pada tumbuh kembang anaknya.
Hal ini dia buktikan saat membandingkan kedua anaknya. Dulu, dia tak pernah memberikan stimulasi khusus untuk anak pertama. Hasilnya, pada usia 10 bulan hingga satu tahun si sulung baru mampu merangkak.
Perlahan, Nunuk merasa ada sesuatu yang salah dalam pola pengasuhan dan stimulasinya. Bagi dia, tumbuh kembang anak pertamanya cenderung lambat. Inilah yang mengilhami pertemuannya dengan Rumah Anak Sigap tahun lalu.
"Anak kedua dari umur satu minggu sudah saya terapkan stimulasinya. Jadi dari usia tiga bulan dia sudah bisa guling-guling, enam bulan bisa merangkak, dan sembilan bulan bisa melangkah," kata Nunuk kepada Jurnas.com beberapa waktu lalu.
"Dari situ saja saya sudah bisa melihat perbedaannya. Jadi, dari saya yang akhirnya menerapkan ilmu parenting dibandingkan dulu yang belum tahu apa-apa," dia menambahkan.
Banyak hal yang Nunuk pelajari dari Rumah Anak Sigap. Di antaranya anjuran tidak membentak anak ketika salah maupun marah, larangan berkata `jangan` kepada anak, hingga pola pemberian Makanan Pengganti ASI (MPASI).
Namun, dari berbagai pengetahuan baru itu, ada satu kisah yang menurut Nunuk paling menarik. Dia terdorong mendobrak mitos-mitos pengasuhan anak yang masih tumbuh subur di masyarakat. Salah satunya, tradisi membedong dan menggendong.
Kata Nunuk, banyak lingkungan di sekitarnya masih percaya bahwa orang tua harus menggendong bayinya sesering mungkin. Selain itu, penggunaan gurita juga menjadi hal yang wajib dengan alasan agar anak tidak tumbuh dewasa dengan kaki berbentuk O.
"Sekarang anak saya diamkan saja, biar bisa bergerak sendiri kayak guling-guling terus bisa merangkak. Terus makan juga kalau sekarang harus duduk. Anak kedua saya juga enggak saya pakein gurita," ujar Nunuk.
"Menurut saya bedong dan gurita itu mitos saja. Karena kalau dilihat secara logika saja dulu sama sekarang. Meskipun dipantang juga enggak apa-apa," kata dia.
Nova Mulyani mengakui mitos pengasuhan menjadi salah satu tantangannya sebagai Koordinator Rumah Anak Sigap. Sejak program tersebut masuk ke Desa Saketi pada 2019 silam, banyak mitos parenting yang masih kental dan diyakini masyarakat, bahkan keluarga generasi milenial dan generasi Z.
"Selama kami bersama di tim layanan, masih banyak orang tua yang percaya pada mitos itu. Mulai dari menyusui seperti apa," kata Nova.
Mitos juga menjadi pelengkap praktik gaya parenting `VOC`, istilah untuk gaya pengasuhan lama yang otoritatif, lainnya yang sering ditemui. Termasuk kebiasaan membentak anak, kecenderungan mengekang anak dalam bersosialisasi, hingga kurangnya edukasi mengenai pemenuhan gizi. Dalam kasus lain, tak jarang orang tua terlambat menyadari anaknya menunjukkan gejala trauma.
"Sempat ada anak yang datang ke sini ketika melihat boneka takut, lihat keramaian takut. Tapi setelah beberapa kali datang ke sini ada perubahan, ini kan keberhasilan. Melihat hal kecil itu jadi senang banget," ujar dia.
Fenomena ini, menurut Nova, harus segera dibenahi secara perlahan. Sebab, 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) merupakan momentum penting dalam perkembangan otak anak. Masa-masa itu pula anak membutuhkan stimulasi dan gizi yang baik guna mencegah stunting.
"Banyak orang tua masih berpikir lihat saja di YouTube. Tapi akan terasa beda kalau di sini. Di sini ada orang tua yang anaknya seperti ini, anak saya seperti ini. Akhirnya bisa sharing. Secara enggak langsung orang tua saling belajar dari pengalaman orang tua lain juga," dia menambahkan.
Saat ini, Rumah Anak Sigap di Desa Saketi menyediakan tujuh kali layanan dalam sebulan, yang meliputi satu kali kelas tematik, dua kali bermain bersama, dan empat kali stimulasi individu. Peserta juga dibagi per kelompok usia, yakni kelompok 0-6 bulan dan 12-24 bulan dengan jadwal layanan yang berbeda.
Nova juga bersyukur program ini mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Desa Saketi sejak pertama kali bergulir. Salah satu dukungan desa ialah izin penggunaan bangunan Posyandu Desa Saketi sebagai lokus layanan Program Rumah Anak Sigap.
"Mudah-mudahan ke depan lebih banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya pengasuhan, tentang menstimulasi anak sesuai usia mereka. Juga semoga Rumah Anak Sigap terus berlanjut dan bisa dilanjutkan setelah program ini selesai. Kami akan bilang ke desa agar mereplikasi program ini," ujar Nova.
Head of Head of Early Childhood Education and Development (ECED) Tanoto Foundation, Michael Susanto, mengatakan bahwa secara umum program Rumah Anak Sigap hingga kini telah hadir di tiga provinsi yang tersebar di 21 titik. Total, program tersebut melayani sekitar 3.000 anak dan orang tua.
Michael memastikan bahwa Rumah Anak Sigap bukan sekadar memberikan layanan pengasuhan dan stimulasi gizi, melainkan sebagai bentuk advokasi kebijakan pemerintah dalam hal pentingnya stimulasi dini dan perkembangan anak demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.
"Ujung-ujungnya kami berharap anak yang datang ke Rumah Sigap, mereka secara mentally on the track baik itu kognitif, sosial emosional, motorik maupun bahasanya," kata Michael dalam kesempatan terpisah.
Tanoto Foundation juga rutin melakukan evaluasi dampak program Rumah Anak Sigap, supaya materi dan pengetahuan yang diperoleh orang tua tak hanya menjadi tumpukan informasi tanpa implementasi lebih lanjut.
Hasilnya menggembirakan. Umumnya, orang tua yang mendapatkan manfaat program Rumah Anak Sigap, cenderung mengubah cara berbicaranya kepada anak, dari yang sebelumnya terkesan negatif kini menjadi lebih positif. Banyak orang tua juga mulai mengizinkan anaknya bermain walaupun berantakan.
"Nah hasil dari perubahan orang tua tentunya berdampak pada anaknya. Anak-anak yang datang ke Rumah Sigap akhirnya kalau dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan layanan, jauh lebih baik dalam beberapa hal secara motorik, kognitif, dan komunikasi," ujar Michael.
Pada akhirnya, Michael berharap Rumah Anak Sigap mampu menjadi fondasi bagi tumbuh kembang anak di Indonesia seiring dengan meningkatkan kualitas pengasuhan yang diberikan orang tua.
Pengimbasan dari para penerima manfaat juga diharapkan, agar semakin banyak orang tua menyadari bahwa pengasuhan dan pemberian gizi yang baik merupakan hal mendasar dalam perkembangan si kecil.
"Lalu yang penting ialah perubahan ini benar-benar datang dari rumah," Michael menambahkan.
Program Rumah Anak Sigap menjadi salah satu contoh kongkret pelibatan swasta dalam pengasuhan anak. Dengan dampak dan perubahan yang muncul, pemerintah daerah juga diharapkan melakukan replikasi guna mencetak generasi sumber daya manusia yang unggul di kemudian hari.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Rumah Anak Sigap Program RAS Tanoto Foundation Saketi Banten Mitos Parenting Pengasuhan Anak



























