Selasa, 25/11/2025 13:28 WIB

Membuka Kembali Kasus Munir, Komnas HAM Dikritik





Direktur PUSHAM USU, Alwi Dahlan Ritonga menilai langkah Komnas HAM yang membuka kembali kasus Munir salah kaprah.

Direktur PUSHAM USU, Alwi Dahlan Ritonga

Jakarta, Jurnas.com - Direktur PUSHAM USU, Alwi Dahlan Ritonga menilai langkah Komnas HAM yang membuka kembali kasus Munir salah kaprah. Komnas HAM bahkan disebut telah melakukan tiga kesalahan karena tiba-tiba membuka kembali kasus tersebut.

Kesalahan pertama ialah menyalahi Prinsip Ne Bis In Idem atau juga dikenal sebagai prinsip double jeopardy, yakni asas hukum yang melarang seseorang untuk dituntut atau diadili lebih dari satu kali untuk perkara yang sama.

"Di mana perkara tersebut sudah pernah diputus oleh hakim dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Asas ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam Pasal 76 KUHP untuk hukum pidana," kata Alwi dalam keterangannya, Jakarta, Selasa, 25 November 2025.

Alwi menekankan tujuan dari asas itu ialah menghindari ketidakpastian dan kebingungan akibat adanya putusan ganda untuk kasus yang sama. Kemudian, melindungi hak terdakwa, dalam hal ini melindungi seseorang dari risiko penuntutan berulang-ulang untuk perbuatan yang sama, sehingga memberikan ketenangan dan keadilan.

"Juga dalam rangka menjaga kehormatan peradilan: mencegah penyalahgunaan proses peradilan dan menjaga agar putusan pengadilan memiliki kekuatan final," ucapnya.

Tak hanya itu, Alwi menuturkan bila prinsip Ne Bis In Idem dalam konteks hak sipil dan politik juga diimplementasikan melalui perjanjian internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pasal 14 ayat (7) dan diakui dalam sistem hukum nasional.

"Prinsip ini melarang seseorang diadili atau dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama setelah ada putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi manusia dari penuntutan ganda," katanya.

Dia melanjutkan kesalahan Komnas HAM kedua adalah tak terpenuhinya elemen kejahatan HAM berat. Khususnya, kejahatan kemanusiaan (Crime against Humanity) terkait sistematis, meluas, dan elemen-elemen lain.

Sebagaimana elemen kejahatan HAM berat di dalam UU Nomor 26 tahun 2000 mau pun merujuk kepada Statuta Roma, maka suatu kejahatan hak asasi manusia dapat dikategorikan HAM berat harus mengandung unsur atau elemen kebijakan negara yang kemudian ditindaklanjuti dengan suatu operasi serangan sistematis dan meluas.

"Di dalam Statuta Roma didefinisikan secara jelas bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil," kata Alwi.

Dia menyebut serangan itu mencakup berbagai tindakan keji seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran paksa, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, dan kejahatan seksual. Kejahatan ini dianggap sebagai yang paling serius di mata hukum internasional, bersama dengan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Alwi melanjutkan elemen kejahatan yang dilakukan secara berulang, menimbulkan pola kejahatan (pattern of crime). Sebagai contoh kejahatan genosida di Myanmar dengan korban Masyarakat Rohingya.

Dimulai dari UU Kewarganegaraan di Myanmar yang menyebabkan sekelompok etnis, termasuk Rohingya tidak menjadi bagian dari suku-suku yang sah sebagai warga negara Myanmar. Padahal warga Roghingya sudah ratusan tahun mendiami Rakhine dan berbagai daerah lainnya di Myanmar.

"Mereka, bersama etnis tertentu lainnya harus menjalani proses naturalisasi. Di dalam proses itu, pemerintah secara langsung mau pun melalui ‘proxy’ yakni elemen masyarakat sipil Budhis garus keras dibantu tentara dan polisi Myanmar melakukan persekusi, pembantaian, pembunuhan perkosaan, pembakaran kampung-kampung Rohingya dan pengambilalihan harta kekayaan orang Rohingya," katanya.

Demikian juga, di Aceh untuk kasus Rumah Geudong yang telah diselediki Komnas HAM. Dimulai dari kebijakan pemerintah pusat mengenai Status Darurat Militer di Aceh, dilanjutkan tindakan Operasi Militer atau sejenisnya.

Kemudian, mengirimkan puluhan ribu pasukan tambahan (BKO) dari luar ke Aceh, membangun pos-pos pengamana yang kemudian digunakan sebagai tempat operasi intelijen/keamanan, penangkapan dan penahanan, penyiksaan, perkosaan, pembunuhan dan perusakan fasilitas pemukiman.

"Pola kejahatan dapat dosimpulkan karena dilakukan berulangkali di berbagai tempat/wilayah dan menimbulkan korban massal. Sementara untuk kasus pembunuhan Munir, cukup sulit mencarikan elemen-elemen sebagaimana dikatakan oleh UU 26 Tahun 2000 mau pun Statuta Roma," katanya.

Karena itu, kata Alwi, meski pun telah dibentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan HAM berat atas peristiwa pembunuhan Munir, semestinya Komnas HAM harus dengan cermat melakukan penyelidikan dan membuat simpulan atas peristiwa ini.

"Ahli-ahli kompeten telah pernah dimintai pendapatnya oleh Komnas HAM periode lalu dan para ahli tersebut menekankan prinsip kehati-hatian di dalam menjalankan tugas penyelidikan dan membuat kesimpulan," kata Alwi.

Kesalahan terakhir, yakni pernyataan Ketua Komnas HAM Anis Hidayah yang akan mundur jika tidak menyelesaikan tugas. Menurutnya, pernyataan itu mengindikasikan kegamangan di dalam menjalankan tugas.

"Sehingga, sangat dikhawatirkan akan membuat simpulan penyelidikan yang tidak akurat/valid dan tentu saja akan menimbulkan dilema hukum yang serius di kemudian hari," katanya.

KEYWORD :

Direktur PUSHAM USU Alwi Dahlan Ritonga Membuka Kembali Kasus Munir Komnas HAM Dikritik Kesalaha




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :