Tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP Paulus Tannos.
Jakarta, Jurnas.com - Tim kuasa hukum dari tersangka dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) Paulus Tannos membeberkan sejumlah kejanggalan penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu disampaikan kuasa hukum Tannos, Damian Agata Yuvens dalam sidang perdana praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin, 24 November 2025.
Damian mengatakan objek praperadilan adalah Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprin.Kap/08/DIK.01.02/01/11/2024 tertanggal 26 November 2024 yang tidak ditandatangani penyidik. Sprinkap tersebut hanya ditandatangani oleh Nurul Ghufron yang ketika itu merupakan Wakil Ketua KPK.
"Objek praperadilan yaitu surat perintah penangkapan tidak sah karena tidak ditandatangani oleh penyidik. Di dalam objek Praperadilan yang menandatangani adalah Wakil Ketua Termohon (KPK) atas nama Nurul Ghufron, bukan penyidik. Kenapa? Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, sebetulnya kedudukan pimpinan KPK termasuk wakil ketua tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut umum, karenanya harus disampaikan yang menandatangani bukan penyidik," ujar Damian di ruang sidang
Damian menerangkan hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 16 ayat 2 juncto Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tersangka Paulus Tannos Ajukan Praperadilan
Selain itu, Damian menambahkan objek praperadilan juga tidak mencantumkan identitas kliennya secara lengkap dan benar sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP.
Dia menyebut kebangsaan Tannos tidak disebutkan secara lengkap dan benar. Bagian identitas objek Praperadilan hanya menulis kebangsaan Tannos sebagai warga Indonesia, sementara sejak tahun 2019 Tannos juga telah menjadi warga negara lain.
"Kebangsaan yang ditulis di bagian identitas objek praperadilan ini adalah tidak lengkap dan keliru karena pemohon telah menjadi warga negara Guinea-Bissau sejak tahun 2019-yang mana hal ini telah diberitahukan oleh pemerintah Guinea-Bissau kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 5 September 2019," ungkap dia.
Lebih lanjut, Damian menyatakan salah satu formalitas dalam surat perintah penangkapan yakni tempat pemeriksaan tidak dicantumkan dalam objek praperadilan. Dia menegaskan tempat pemeriksaan dimaksud harus disebutkan karena akan menjadi tolok ukur penghitungan waktu dimulai dan berakhirnya penangkapan.
"Tanpa adanya tempat pemeriksaan, maka menjadi tidak mungkin untuk menghitung kapan dimulainya dan berakhirnya waktu penangkapan," imbuhnya.
Selain itu, Damian memandang objek Praperadilan tidak sah karena jenis tindak pidana yang disebutkan di dalamnya tidak sinkron dengan uraian perbuatan material yang disangkakan oleh KPK kepada Tannos pada dokumen-dokumen permohonan ekstradisi. Hal itu disebut melanggar Pasal 18 ayat 1 KUHAP.
Damian bilang jenis tindak pidana yang disebutkan KPK dalam objek Praperadilan yaitu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur perihal kerugian negara. Hal itu tidak sinkron dengan perbuatan material yang disangkakan KPK kepada Tannos sebagaimana di dalam ringkasan fakta (Summary of Fact) dan surat dakwaan (Charge).
Dia melanjutkan objek praperadilan tidak sah karena juga tidak diterbitkan berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 17 KUHAP. Objek Praperadilan dianggap tidak sah lantaran digunakan untuk mengekang kebebasan Tannos.
"Berdasarkan seluruh dalil dan dasar hukum di atas, pemohon memohon kepada hakim praperadilan untuk menjatuhkan penetapan: menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan pemohon untuk seluruhnya," ungkap Damian.
Sementara itu, Biro Hukum KPK akan menyampaikan jawabannya pada sidang yang hendak digelar pada Selasa, 25 November 2025. Namun, Biro Hukum KPK dalam sidang hari ini sempat menyampaikan kalau status Tannos adalah buron sehingga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan praperadilan.
"Bahwa pemohon ini statusnya masih dalam status daftar pencarian orang (DPO) dan juga red notice. Jadi, sampai saat ini statusnya masih DPO dan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 ada larangan pengajuan Praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau sedang dalam status pencarian orang," terang Biro Hukum KPK.
Meski begitu, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Halida Rahardhini meminta agar hal itu dimasukkan ke dalam jawaban saja. Hakim meminta agar hukum acara persidangan Praperadilan dijalankan secara utuh.
Kasus Paulus Tannos merupakan proses ekstradisi pertama yang dilakukan oleh Indonesia dan Singapura. Kedua negara telah melakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi pada tahun 2022, yang dilanjutkan dengan ratifikasi pada tahun 2023.
Tannos selaku Direktur Utama PT Sandipala Artha Putra masuk DPO sejak 19 Oktober 2021 lalu. Dia berhasil ditangkap di Singapura oleh lembaga antikorupsi di sana pada pertengahan Januari lalu.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Praperadilan Paulus Tannos Korupsi eKTP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan



























