Senin, 24/11/2025 18:46 WIB

Baju Thrifting Bisa Tularkan Penyakit? Ini Fakta dan Mitosnya





Fenomena thrifting semakin populer, terutama di kalangan anak muda yang ingin tampil stylish tanpa menguras kantong.

Thrifting masih menjadi tren di kalangan anak muda (Foto: Becca Mchaffie/Unsplash)

Jakarta, Jurnas.com - Fenomena thrifting semakin populer, terutama di kalangan anak muda yang ingin tampil stylish tanpa menguras kantong. Namun tren ini kerap dibayangi kekhawatiran bahwa pakaian bekas dapat menjadi sumber penyakit menular.

Kekhawatiran tersebut muncul karena baju yang dijual bukan barang baru dan telah dipakai oleh orang lain dalam waktu yang tidak diketahui. Lalu, apakah asumsi ini benar atau sekadar mitos yang terus diwariskan?

Salah satu risiko yang sering disebut adalah kemungkinan adanya bakteri atau jamur yang menempel pada serat kain. Pakaian yang tidak dicuci dengan benar dapat menyimpan mikroorganisme, meskipun jumlahnya biasanya kecil.

Bakteri non-patogen umumnya tidak membahayakan, tetapi jamur seperti Candida bisa menimbulkan infeksi pada kulit sensitif. Meski begitu, kasus seperti ini jarang sekali terjadi jika pakaian dibersihkan dengan baik.

Selain bakteri dan jamur, potensi lain adalah keberadaan tungau atau kutu pakaian. Parasit kecil tersebut dapat bertahan dalam kondisi lembap atau saat pakaian disimpan dalam waktu lama tanpa pencucian.

Namun, tungau biasanya mati jika pakaian dicuci dengan air panas atau dijemur langsung di bawah matahari. Karena itu, risiko kesehatan dapat ditekan dengan perawatan yang tepat.

Mitos yang juga berkembang adalah bahwa baju thrifting bisa menularkan penyakit berbahaya seperti HIV atau hepatitis. Informasi ini tidak benar karena virus tersebut tidak bertahan lama di luar tubuh manusia.

Virus HIV, misalnya, mati dalam hitungan menit setelah terpapar udara. Artinya, penularan melalui pakaian bekas hampir mustahil terjadi.

Di sisi lain, beberapa orang tetap merasakan reaksi alergi setelah memakai baju thrift. Reaksi tersebut bukan berasal dari virus, melainkan sensitivitas terhadap deterjen, pewangi, atau pewarna kain yang tersisa. Kulit yang mudah iritasi bisa mengalami kemerahan atau gatal, tetapi kondisi ini tidak berbahaya dan mudah diatasi.

Untuk orang dengan kulit sensitif, memilih bahan pakaian yang lembut seperti katun sangat disarankan. Bahan tebal atau sintetis cenderung menyimpan kelembapan lebih lama, sehingga lebih mudah menjadi tempat berkembangnya jamur. Perawatan sebelum dipakai menjadi langkah penting, terutama bagi mereka yang rentan alergi.

Kebersihan toko thrift juga menjadi faktor penentu. Banyak toko besar kini sudah melakukan sterilisasi dasar sebelum menjual pakaian kembali. Namun toko kecil atau penjual dadakan di pasar loak mungkin tidak melakukan hal yang sama. Karena itu, konsumen harus tetap berhati-hati saat memilih tempat membeli.

Tips aman berbelanja thrifting meliputi mencuci baju dengan air hangat, menambahkan antiseptik pakaian, dan menjemurnya hingga benar-benar kering di bawah sinar matahari.

Langkah ini cukup untuk menghilangkan sebagian besar bakteri dan jamur. Bila pakaian memiliki lapisan dalam seperti jaket tebal, proses pencucian mungkin perlu diulang beberapa kali.

Selain itu, menyetrika baju dengan suhu tinggi juga dapat membantu membunuh mikroorganisme yang tersisa. Panas dari setrika efektif mengurangi potensi jamur yang mungkin tertinggal di serat kain. Langkah ini sering direkomendasikan sebagai perlindungan tambahan.

Dalam kebiasaan sehari-hari, risiko penyakit dari baju thrifting sangat rendah jika dibandingkan dengan manfaat ekonomis yang didapat. Banyak orang menggunakan pakaian bekas tanpa pernah mengalami masalah kesehatan. Dengan edukasi yang tepat, masyarakat tidak perlu takut berlebihan.

KEYWORD :

thrifting berbahaya penyakit dari pakaian bekas tips aman thrifting




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :