Paviliun Indonesia di ajang COP30 di Brasil (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah dinilai belum serius dalam mewujudkan keadilan iklim dalam forum global Conference of Parties ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, yang saat ini sedang berlangsung hingga 21 November mendatang.
GIS Analyst Trend Asia, Masagus Achmad Fathan Mubina, yang turut hadir dalam COP30 menyoroti pernyataan pemerintah melalui Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, Hashim Djojohadikusumo, yang masih bias kepentingan.
"Keberpihakan masih dipertanyakan selama komoditas yang menimbulkan konflik seperti fosil dan nikel tidak dikeluarkan dalam skema transisi energi berkeadilan untuk mendukung aksi iklim," kata Fathan dalam keterangannya pada Senin (17/11).
Fathan menyebut, komitmen keadilan iklim yang digaungkan pemerintah hanya akan sebatas ucapan jika tidak dibarengi upaya perlindungan pada pihak yang terdampak seperti masyarakat adat.
"Proyek-proyek bioenergi yang dijalankan tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi Sejak Awal Tanpa Paksaan menunjukkan belum adanya komitmen perlindungan masyarakat dan ruang hidupnya yang terancam karena kebijakan transisi energi pemerintah," dia menambahkan.
Perwakilan Greenpeace Indonesia asal Papua, Rosi Yow, juga mempertanyakan transparansi komitmen pemerintah Indonesia untuk aksi iklim di pertemuan COP30 ini.
Dirinya juga menyinggung prinsip keterbukaan dan partisipasi masyarakat adat yang selama ini seringkali diabaikan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah untuk aksi iklim.
MPR Goes to Campus, Eddy Soeparno Tegaskan Komitmen Perjuangkan UU Pengelolaan Perubahan Iklim
"Indonesia menyampaikan target transisi energi di pembukaaan COP30. Namun, di sisi lain industri ekstraktif yang mengambil keuntungan dari eksploitasi mineral dan deforestasi masif menjadi sponsor Paviliun Indonesia selama kegiatan ini," kata Rosi.
Hal senada disampaikan wakil Climate Rangers, Fadilla Miftahul. Dikatakan, negosiasi Indonesia dalam aksi iklim global selama COP30 masih terlalu berhati-hati dan belum mencerminkan urgensi krisis iklim, khususnya bagi masyarakat yang terdampak.
"Pembahasan masih berkutat di perdagangan karbon yang fokusnya hanya memindahkan emisi, bukan mengurangi emisi. Kalau tetap seperti ini, akan berpengaruh pada generasi yang akan datang," kata Fadilla.
Dia juga menilai dialog-dialog dalam aksi iklim sejauh ini belum memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi generasi muda.
Karena itu, di sela COP30, Fadilla berinisiatif menyerahkan secara langsung dokumen hasil kesepakatan dari ribuan anak muda asal lebih dari 150 negara yang menyerukan perubahan kebijakan iklim global, kepada Ketua Delegasi RI.
"Dokumen ini adalah pernyataan penolakan kami sebagai generasi yang mewarisi krisis," dia menambahkan.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
COP30 Brasil Aksi Iklim Keadilan Iklim Perubahan Iklim
























