Ilustrasi sampah (Foto: Doknet)
Jakarta, Jurnas.com - Industri penerbangan menghadapi tekanan besar karena menyumbang sekitar 2,5 persen emisi CO₂ global, sementara permintaan terbang diperkirakan akan meningkat pada 2040. Karena pesawat belum bisa mengandalkan baterai dalam skala besar, Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjut atau Sustainable Aviation Fuel (SAF), menjadi tumpuan utama dekarbonisasi meski pasokannya masih kurang dari satu persen akibat biaya tinggi dan bahan baku terbatas.
Di tengah keterbatasan itu, studi baru dari Tsinghua University dan Harvard-China Project menyoroti potensi sampah kota sebagai sumber SAF yang selama ini terabaikan. Temuan mereka menunjukkan bahwa konversi sampah menjadi bahan bakar dapat menekan emisi penerbangan secara signifikan dan langsung digunakan pada pesawat hari ini.
Peneliti menekankan bahwa opsi dekarbonisasi untuk sektor penerbangan masih sangat terbatas, berbeda dengan transportasi darat yang mulai beralih ke elektrifikasi. Karena itu, mereka melihat sampah kota sebagai jalur inovatif yang bisa diterapkan segera tanpa menunggu teknologi baru.
“Tidak seperti transportasi jalan raya yang mulai beralih menuju elektrifikasi, tidak ada solusi tunggal untuk mencapai penerbangan netral karbon,” kata Jingran Zhang, penulis pertama studi tersebut dan peneliti postdoktoral di Harvard-China Project.
“Mengubah sampah sehari-hari menjadi bahan bakar jet bisa menjadi langkah inovatif namun sangat penting dalam jangka pendek menuju penerbangan yang lebih bersih. Dengan mengonversi sampah kota menjadi bahan bakar jet rendah karbon yang sudah dapat bekerja pada mesin pesawat saat ini, kita bisa mulai mengurangi emisi segera, tanpa menunggu teknologi masa depan.”
Proses yang diuji menggunakan gasifikasi dan sintesis Fischer–Tropsch, dua teknologi industri yang sudah mapan. Melalui proses ini, sampah campuran seperti sisa organik, kertas, kardus, dan sebagian plastik diubah menjadi syngas lalu disintesis menjadi bahan bakar jet.
Hasil akhirnya adalah cairan yang dapat diolah menjadi kerosene dengan spesifikasi yang sama seperti bahan bakar jet konvensional, sehingga maskapai dapat menggunakannya tanpa perubahan infrastruktur. Dengan demikian, pengurangan emisi bisa terjadi dalam waktu dekat tanpa mengubah armada pesawat.
Penilaian siklus hidup menunjukkan bahwa SAF berbasis sampah mampu menurunkan emisi hingga 80–90 persen dibanding bahan bakar fosil. Penghematan ini muncul dari berkurangnya sampah ke landfill, pencegahan pelepasan metana, serta pergantian bahan bakar fosil dengan opsi rendah karbon.
Namun, peneliti mencatat bahwa gasifikasi sampah merupakan tantangan karena komposisinya tidak seragam dan perlu memastikan operasi yang stabil. Ketidakkonsistenan ini membuat sebagian besar karbon belum seluruhnya dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar.
Untuk mengatasinya, studi ini menyoroti pentingnya daur ulang CO₂ dalam fasilitas produksi dan penambahan hidrogen hijau. Keduanya meningkatkan hasil bahan bakar sekaligus memperkuat manfaat iklim, terutama di wilayah yang memiliki pasokan energi terbarukan murah.
Sampah kota yang selama ini menjadi beban lingkungan turut muncul sebagai peluang energi baru, karena dapat dialihkan dari landfill serta mengurangi polusi. Meski demikian, penanganan plastik harus dilakukan hati-hati agar tetap sesuai kriteria keberlanjutan.
Peneliti menjelaskan bahwa dengan sistem penyortiran dan pembersihan gas modern, sebagian besar sampah kota dapat menjadi bahan baku SAF yang stabil. Hal ini menjadikan konversi sampah sebagai strategi ganda yang menyelesaikan persoalan limbah sekaligus mengurangi ketergantungan pada minyak bumi.
Potensi globalnya terbilang besar, karena sampah yang ada saat ini dinilai mampu menghasilkan sekitar 50 juta ton bahan bakar jet per tahun. Jumlah itu cukup untuk memangkas emisi penerbangan sekitar 16 persen jika dimanfaatkan secara efektif.
Dengan tambahan hidrogen hijau dan optimalisasi proses, kapasitas tersebut dapat meningkat hingga 80 juta ton per tahun. Peningkatan ini berpeluang memenuhi hingga 28 persen kebutuhan bahan bakar jet dunia dan menghindari ratusan juta ton CO₂ setiap tahun.
Di Eropa, potensi SAF berbasis sampah bahkan dapat melampaui target pencampuran SAF Uni Eropa tanpa melanggar standar keberlanjutan. Sementara itu, kebijakan harga karbon dan program seperti CORSIA memberi keuntungan ekonomi tambahan bagi maskapai yang beralih ke bahan bakar rendah karbon.
Meski teknologinya kuat, peneliti menilai skala produksi tetap bergantung pada dukungan kebijakan yang konsisten. Pembangunan fasilitas besar, pengelolaan sampah yang lebih baik, pasokan hidrogen hijau, dan pembiayaan jangka panjang tidak akan terjadi tanpa insentif yang jelas.
Kebijakan seperti kredit produksi, kontrak harga terjamin, dan standar keberlanjutan dapat menarik investasi swasta. Di sisi permintaan, mandat campuran SAF yang meningkat secara bertahap memberi kepastian bagi industri penerbangan untuk bertransisi.
Peneliti utama Michael McElroy menegaskan bahwa studi ini menawarkan cetak biru untuk mengubah beban sampah kota menjadi solusi lingkungan. Ia menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, produsen bahan bakar, maskapai, dan produsen pesawat untuk mempercepat penurunan biaya.
Gambaran besarnya menunjukkan bahwa tidak ada satu solusi tunggal untuk dekarbonisasi penerbangan, namun SAF berbasis sampah adalah salah satu yang dapat berkembang dalam dekade ini. Dengan menggabungkannya bersama peningkatan efisiensi, jalur SAF lain, serta teknologi hidrogen dan listrik, masa depan penerbangan rendah karbon menjadi jauh lebih mungkin. (*)
Studi ini dipublikasikan dalam Nature Sustainability. Sumber: Earth
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Bahan Bakar Pesawat Jet Sampah sumber SAF Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan






















