Kamis, 13/11/2025 13:08 WIB

Ahli BRIN Ungkap Fakta, Jalan di Hutan Haltim Bukan Buat Kayu





Sidang lanjutan sengketa tambang nikel antara PT WKM dan PT Position di Halmahera Timur (Haltim) hadirkan saksi dari BRIN

Sidang lanjutan kasus sengketa tambang nikel di Halmahera Timur (Haltim). (Foto: Jurnas/Ira).

Jakarta, Jurnas.com- Sidang lanjutan sengketa tambang nikel antara PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position di Halmahera Timur (Haltim) kembali digelar Rabu (12/11) di PN Jakarta Pusat dengan agenda keterangan ahli perencanaan hutan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Lutfy Abdullah.

Di hadapan majelis hakim, Lutfy menegaskan bahwa pembuatan jalan yang dilakukan PT Position, bukanlah upgrading jalan, melainkan pembukaan jalan baru. Hal itu dikatakannya berdasarkan foto citra satelit yang ditunjukkan di persidangan.

“Kalau dari citra satelit saya lihat itu bukan upgrading jalan. Melainkan membuka jalan baru,” ujar Lutfy.

Dalam kesaksiannya, ahli menyoroti temuan penting terkait desain jalan di kawasan hutan yang menjadi objek perkara. Menurutnya, jalan tersebut diduga tidak dibangun untuk keperluan kehutanan, melainkan untuk aktivitas pertambangan.

“Berdasarkan gambar dan analisis morfologi jalan, kemiringannya sangat curam dan ekstrem. Itu bukan desain jalan untuk mengeluarkan kayu, tetapi untuk mengeluarkan material dari dalam tanah,” ujar Lutfy.

Ia menjelaskan, dalam praktik perhutanan, jalan harus dibangun dengan elevasi landai guna menghindari bahaya bagi operator alat berat dan masyarakat sekitar. Jalan dengan tingkat kemiringan ekstrem dapat memicu longsor serta mengancam pohon-pohon di sekitar kawasan, yang merupakan aset negara.

“Dalam perencanaan hutan, pembuatan jalan harus memilih jalur dengan perbedaan elevasi minimal. Tanah hasil galian seharusnya disisihkan untuk memperkuat punggung jalan, bukan diambil seluruhnya,” paparnya.

Ditegaskannya, kondisi jalan yang terlihat pada foto-foto di persidangan menunjukkan aktivitas yang lebih menyerupai kegiatan tambang daripada praktik kehutanan. “Jalan seperti itu tidak dibuat untuk menebang pohon, tetapi untuk mengeluarkan mineral,” tambahnya.

Selain soal jalan, Lutfy juga menyoroti keberadaan patok di lokasi perkara. Ia mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 7 Tahun 2021 yang mendefinisikan patok sebagai tanda batas izin kawasan hutan.

“Patok seharusnya berada di batas izin, bukan di tengah area. Harus dicat mencolok dan memuat nomor serta arah batas konsesi. Dari foto yang saya lihat, objek tersebut tidak memenuhi kriteria itu, sehingga itu bukan patok" jelasnya.

Dikatakannya, bahwa perambahan hutan hanya dapat dikategorikan jika terjadi aktivitas penambahan pokok atau pembukaan hutan tanpa izin resmi. “Jika tidak ada tindakan fisik penebangan atau pengambilan kayu, maka sulit disebut perambahan hutan,” ujarnya.

Usai sidang, kuasa hukum PT Wana Karya Mineral (WKM), OC Kaligis menilai perkara ini sarat kriminalisasi dan tidak objektif.  “Kalau pengadilan jujur melihat fakta, jelas jalan itu dibuat untuk mengeluarkan material tambang, bukan untuk kehutanan. Semua fakta di persidangan mematahkan dakwaan,” ujarnya.

Sementara itu, kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak, menyebut keterangan ahli semakin memperjelas bahwa perjanjian kerja sama (PKS) antara PT WKS dan PT Position telah batal demi hukum.

“Yang diperjanjikan adalah jalan eksisting, tapi berdasarkan peta citra satelit, itu jalan baru. Artinya pembangunan dilakukan tanpa izin yang sah,” tegas Rolas.

Ia menambahkan, kawasan tersebut sebelumnya merupakan hutan perawan (virgin forest) yang belum pernah ditebang. Berdasarkan izin penebangan, area baru bisa dibuka kembali setelah 35 tahun, atau pada 2037. “Kalau mereka buka jalan baru di area hutan perawan tanpa izin Menteri, itu jelas pelanggaran,” tambahnya

Dalam pernyataannya, Rolas juga menyinggung fenomena `pelakor` alias penambang lahan koridor di dunia pertambangan, yaitu pihak-pihak yang menambang di luar wilayah izin dan menghindari kewajiban pajak serta retribusi negara. “Penambang seperti ini yang harus diberantas. Mereka enak karena tidak bayar kewajiban, tapi merusak kawasan hutan,” ujarnya.

Ia menilai, kasus yang menjerat kliennya justru menunjukkan adanya praktik-praktik manipulatif oleh pihak lain yang membuka jalur tanpa izin resmi. “Kalau Presiden Prabowo serius mau berantas illegal mining, datanglah ke lokasi-lokasi seperti di Halmahera Timur. Di sana, tambang ilegal benar-benar marak,” tandasnya.

Sementara itu, salah satu saksi kunci yakni Dirut PT WKS, Jacob Supamena kembali mangkir dengan alasan masih di rawat di RS. "Tetap kita kasih energi positif biar yang bersangkutan bisa hadir. Silakan kalau kuasa hukum mau jenguk," ujar Ketua Majelis Hakim Sunoto.

Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda keterangan dari dua terdakwa, Marsel Bialembang dan Awwab Hafidz yang didakwa melakukan pemasangan patok.

KEYWORD :

tambang nikel Halmahera Timur Ahli BRIN




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :