Rabu, 12/11/2025 01:24 WIB

Mengenal Gus Dur, Bapak Pluralisme yang Digelari Pahlawan Nasional





Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur tersebut menambah daftar penghormatan bagi tokoh yang selama hidupnya dikenal sebagai Bapak Pluralisme

Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, Pemerintah Indonesia pimpinan Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk 10 tokoh, di antaranya ada Presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur tersebut menambah daftar penghormatan bagi tokoh yang selama hidupnya dikenal sebagai Bapak Pluralisme, pembela kemanusiaan dan keberagaman di Indonesia.

Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940, dari keluarga pesantren terkemuka. Ia merupakan cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, dan putra KH. Wahid Hasyim, tokoh pergerakan Islam sekaligus Menteri Agama pertama Indonesia.

Lingkungan pesantren yang religius dan nasionalis membentuk dasar pemikirannya yang terbuka dan menghargai perbedaan. Tak hanya itu, pendidikan Gus Dur melampaui batas pesantren.

Ia menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Mesir, dan Universitas Baghdad, Irak, yang memperluas pandangannya tentang Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Dari pengalaman di berbagai negara, Gus Dur melihat bahwa nilai kemanusiaan universal sejalan dengan ajaran agama yang menjunjung keadilan dan toleransi.

Pemahaman itu di antaranya menjadi dasar bagi gagasannya tentang pluralisme. Bagi Gus Dur, Indonesia berdiri di atas perbedaan, dan kemajemukan adalah kekuatan yang harus dirawat. Ia kerap menekankan bahwa setiap warga negara, tanpa melihat latar belakang etnis atau agama, memiliki hak yang sama di mata hukum dan kemanusiaan.

Ketika menjabat Presiden ke-4 RI, Gus Dur membawa nilai-nilai itu ke dalam kebijakan. Salah satu langkah bersejarahnya adalah menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional pada 9 April 2001, yang menandai berakhirnya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Keputusan tersebut mencerminkan pandangannya bahwa negara harus menjadi rumah yang aman bagi semua golongan.

Dalam berbagai tulisan dan pidatonya, Gus Dur juga kerap menekankan pentingnya membangun masyarakat yang menghargai perbedaan. Menurut sebuah penelitian dalam jurnal Asy-Syir’ah terbitan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, konsep pluralisme Gus Dur setidaknya meliputi tiga dimensi utama: pemikiran yang terbuka, sikap saling menghormati, dan tindakan nyata memperjuangkan keadilan.

Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di usia 69 tahun. Meski telah wafat, pemikiran dan teladannya terus hidup, terutama dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan di tengah masyarakat yang beragam.

Kini, dua dekade lebih setelah kepergiannya, nama Gus Dur tetap lekat dalam ingatan bangsa. Ia menjadi sosok yang mengajarkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk terpecah, melainkan landasan untuk bersatu dalam semangat Indonesia yang majemuk dan plural. (*)

 
KEYWORD :

Gus Dur Bapak Pluralisme Pahlawan Nasional




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :