Indonesia menjadi peserta dalam Konferensi International ke-30 Perubahan Iklim di Brasil (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Sekelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk menghasilkan kesepakatan yang dapat mengatasi perubahan iklim dunia dalam Konferensi ke-30 Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (COP30) di Belém, Brasil pada 10-21 November.
Hal ini mencuat dalam diskusi `Drop the COP: Memantau Komitmen dan Menanti Aksi Iklim Indonesia di COP30` yang diselenggarakan oleh Purpose Indonesia, CERAH, Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, Coaction Indonesia, Katadata Green, Climate Rangers Jakarta, dan The Habibie Center.
Junior Campaigner Purpose Indonesia, Tsabita Rantawi menyampaikan bahwa dari berbagai diskusi terbukti masyarakat sipil merupakan yang paling terdampak krisis iklim, sehingga penting bagi masyarakat untuk menggaungkan suaranya di ajang COP30 ini.
"Itu jadi alasan suara kita penting, tapi biasanya masyarakat bingung mau diamplifikasi ke mana suaranya? Mereka bingung juga mempelajari dan mencari data tentang isu iklim ini di mana," kata Tsabita di Jakarta pada Sabtu (8/11).
Untuk itu, melalui diskusi ini juga menjadi peluncuran laman hub komunikasi yang menyediakan informasi terkait agenda dan kemajuan negosiasi delegasi Indonesia dalam COP30.
MPR Goes to Campus, Eddy Soeparno Tegaskan Komitmen Perjuangkan UU Pengelolaan Perubahan Iklim
Manajer Kebijakan dan Advokasi Coaction Indonesia A Azis Kurniawan mengatakan, perubahan iklim diprediksi menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp544 triliun, termasuk terjadinya penurunan produksi dan gagal panen, hingga peningkatan jumlah penyakit terkait iklim.
Di sisi lain, mengacu riset pada 2024, 39,8 persen anak muda mengalami eco-anxiety lantaran mengkhawatirkan dampak krisis iklim pada lingkungan dan ekonomi ke depan.
"Padahal kalau pengambil kebijakan lebih serius, ada beberapa manfaat aksi iklim yang positif, yaitu green jobs," kata Azis.
Oleh sebab itu, kata dia, aksi iklim oleh anak muda penting untuk mendorong transformasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang saat ini dibutuhkan masyarakat. Azis juga berharap, dalam penyelenggaraan COP30 ini, masyarakat ikut mengkritisi kebijakan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) milik Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono menyebut desakan dari seluruh masyarakat menjadi penting mengingat komitmen iklim yang dibuat oleh Indonesia dalam level global belum dibuktikan dengan implementasi nyata di lapangan.
Kebijakan iklim dan transisi energi Indonesia yang berlaku saat ini pun masih jauh dari ideal untuk menjadi solusi krisis iklim.
"Sebagai contoh, di sektor energi, terdapat inkonsistensi atau gap kebijakan antara apa yang disampaikan pemerintah di level global dan dokumen kebijakan. Misalnya, soal target 100% energi terbarukan di 2035, namun kita melihat sejumlah dokumen justru masih menempatkan energi fosil sebagai pipeline, contohnya di RUPTL 2025-2034 dan RUKN," Agung menjelaskan.
Karenanya, COP30 seharusnya menjadi ajang pembuktian keseriusan Pemerintah Indonesia mengatasi krisis iklim. “Kita semua menanti Indonesia punya komitmen yang lebih serius,” ujar Agung.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
perubahan iklim konferensi ke-30 perubahan iklim coaction indonesia tsabita rantawi




















