Minggu, 09/11/2025 02:44 WIB

Paonganan Respons Kasus Komika Pandji: Adat Toraja Itu Cinta, Bukan Amarah





Pandji sudah meminta maaf. Mari kita tunjukkan bahwa masyarakat Toraja lebih besar dari sekadar reaksi emosional.

Akademisi berdarah Toraja Dr. Y Paonganan alias Ongen. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Polemik seputar komika Pandji Pragiwaksono yang dianggap menyinggung adat dan budaya Toraja menuai beragam tanggapan. Namun di tengah derasnya tuntutan sanksi adat dan amarah publik, muncul suara teduh dari seorang tokoh akademisi berdarah Toraja, Dr. Y. Paonganan (Ongen), cucu Puang Dian (Mengkendek Tana Toraja).

Dengan penuh kebijaksanaan, Paonganan mengingatkan bahwa hakikat adat Toraja bukanlah untuk menghukum, melainkan untuk menyembuhkan, merangkul, dan mengajarkan kasih.

“Setahu saya, adat Toraja itu penuh kasih, tidak otoriter. Kalau Pandji benar-benar memahami adat Toraja, rasanya dia tidak akan melakukan itu. Tapi dia sudah minta maaf, dan sebagai anak Toraja, saya maafkan. Denda adat itu tidak perlu dituruti,” ujar Ongen, sapaannya dalam pernyataan tertulis, Sabtu  (8/11).

Pernyataan ini sontak menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Toraja, terutama di tengah suasana panas pasca video Pandji yang dianggap melecehkan tradisi Rambu Solo’. 

Sebagian kelompok adat bahkan sempat mendesak agar Pandji dikenakan “denda adat”, suatu bentuk sanksi sosial yang dikenal dalam sistem hukum tradisional Toraja.

Namun bagi Paonganan, pendekatan tersebut bukanlah cerminan sejati dari “adat lembang”, sistem nilai yang diwariskan oleh leluhur Toraja yang menjunjung tinggi kehormatan, cinta kasih, dan keseimbangan.

Paonganan menegaskan bahwa Puang Dian, dikenal sebagai sosok bijak yang mengajarkan pentingnya kasih dalam setiap tindakan adat.

“Kakek saya, Puang Dian, selalu menanamkan bahwa adat itu bukan alat untuk mempermalukan, tapi untuk memperbaiki. Kalau seseorang berbuat salah dan dia sudah meminta maaf, maka yang paling tinggi nilainya adalah memaafkan. Itu kehormatan orang Toraja yang sesungguhnya,” katanya.

Ia menilai bahwa tuntutan sanksi adat yang muncul justru berpotensi memunculkan persepsi negatif tentang adat Toraja, seolah-olah adat hanya berfungsi untuk menghukum atau mempermalukan orang lain. 

Padahal, kata dia, adat Toraja sesungguhnya adalah refleksi dari nilai-nilai spiritual yang dalam di mana manusia dan sesamanya ditempatkan dalam hubungan yang saling menghormati dan mengasihi.

“Toraja itu cinta, bukan amarah. Kita diajarkan untuk menghormati tamu, memahami perbedaan, dan tidak menghakimi. Pandji sudah meminta maaf. Mari kita tunjukkan bahwa masyarakat Toraja lebih besar dari sekadar reaksi emosional,” tambahnya.

Bagi Paonganan, kejadian ini seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum edukasi nasional kesempatan untuk memperkenalkan filosofi dan nilai luhur adat Toraja kepada masyarakat luas.

“Justru ini momen untuk sosialisasikan adat Toraja ke seluruh Indonesia. Banyak orang luar yang belum paham betapa dalam dan indahnya filosofi hidup orang Toraja. Jangan jadikan momen ini untuk marah, tapi untuk memperkenalkan cinta,” ucapnya.

Ia mengajak para tokoh adat, akademisi, dan generasi muda Toraja agar menjadikan polemik ini sebagai pintu masuk untuk dialog budaya bukan pertentangan. Menurutnya, masyarakat modern sering melihat adat hanya dari sisi ritual seperti upacara Rambu Solo’ atau Ma’nene, tanpa memahami nilai moral yang melandasinya: persaudaraan, kasih, dan penghormatan terhadap kehidupan.

“Kalau hanya melihat adat dari upacara, orang hanya paham kulitnya. Tapi kalau kita tunjukkan nilai kasih dan penghormatan yang menjadi ruhnya, orang akan jatuh cinta kepada adat Toraja,” jelasnya.

Pernyataan Paonganan diakhiri dengan kalimat sederhana namun menggugah: “Toraja is LOVE.”

Bagi dia, tiga kata itu bukan sekadar slogan, melainkan cerminan hakikat hidup orang Toraja yang diwariskan turun-temurun bahwa segala sesuatu harus berlandaskan kasih.

Nilai itu, lanjutnya, bahkan tertanam dalam struktur adat dan kepercayaan masyarakat Toraja sejak masa pra-kolonial, di mana prinsip “sangulean” (persaudaraan) dan “tang merambu” (keseimbangan) menjadi dasar dari semua tindakan sosial dan ritual.

“Cinta adalah inti dari adat Toraja. Kalau kita kehilangan cinta, maka adat kehilangan maknanya,” ujar Paonganan.

 

KEYWORD :

Y Paonganan adat Toraja komika Pandji Pragiwaksono dialog budaya denda adat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :