Selasa, 04/11/2025 16:51 WIB

Pencopotan Anggota DPR Harus Pembuktian Hukum bukan Amarah Publik





Pencopotan jabatan, termasuk anggota DPR RI harus berdasarkan pada pembuktian hukum dan mekanisme formal, bukan karena amarah publik.

Ilustrasi Paripurna DPR

 

Jakarta, Jurnas.com - Grafolog dan Pengamat Perilaku serta ahli strategi AI, Gusti Aju Dewi, menekankan bila pencopotan jabatan, termasuk anggota DPR RI harus berdasarkan pada pembuktian hukum dan mekanisme formal, bukan karena amarah publik.

Ini disampaikan Gusti Aju saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas kasus lima Anggota DPR RI nonaktif.

"Soal sanksi administrasi, harus lewat bukti hukum, bukan amarah publik. Sanksi administrasi atau pencopotan jabatan, seharusnya didasarkan pada pembuktian hukum dan mekanisme formal," kata Gusti Aju di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 3 November 2025.

Gusti Aju mengingatkan keputusan yang diambil berdasarkan tekanan atau amarah publik sesaat jelas akan merusak tatanan negara.

"Kalau kita biarkan emosi menggantikan hukum, maka bangsa ini akan hancur pelan-pelan," ucapnya.

Gusti Aju mengaku sudah mengamati peristiwa ini sejak demo terhadap Bupati Pati Sudewo yang menaikkan pajak. Awalnya gerakan ini terlihat murni gerakan rakyat. Namun, secara perlahan terjadi perubahan pola, seperti ada pihak di balik layar yang mengendalikan.

"Di titik itu saya sadar, ini bukan lagi gerakan spontan rakyat, tapi sudah ada yang mengatur, membingkai, dan menunggangi," kata Gusti Aju di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11).

Di sisi lain, Gusti Aju menilai kerusuhan terjadi karena adanya opini publik yang digiring melalui disinformasi dan emosi sosial. Sehingga, logika publik menjadi kacau, dengan begitu rakyat menjadi mudah dibenturkan hingga berujung kerusuhan.

"Berbeda dari perang fisik yang menumpahkan darah, perang ini menyerang pikiran dan persepsi manusia, mengubah cara kita memaknai realitas. Musuhnya tidak kelihatan, tapi dampaknya nyata. Rakyat diadu, dibakar emosinya, dijadikan pion dalam permainan besar," katanya.

Kondisi ini pun yang diyakini memantik kerusuhan demo dan penjarahan rumah pejabat publik pada Agustus 2025. Gusti Aju menilai penjarahan terjadi dipengaruhi oleh disinformasi tersebut.

Gusti Aju tak menampik bahwa para pejabat publik seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya hingga Eko Patrio menunjukan sikap tidak empatik. Namun, adanya disinformasi membuat amuk massa tidak terkontrol hingga terjadi tindak pidana penjarahan, pengancaman, hingga persekusi.

Dia berpendapat seharusnya para penjabat publik ini dikritik atas sikapnya. Segala bentuk kekerasan maupun penjarahan tidak dibenarkan karena bagian dari kriminalitas.

"Inilah bahayanya DFK (Disinformasi, Fitnah, Kebencian), ketika moral publik dibajak, orang merasa tindakannya benar padahal sudah melanggar hukum," imbuhnya.

Atas dasar itu, Gusti Aju tidak sepakat jika para anggota dewan tersebut langsung dicabut begitu saja status keanggotaannya di DPR RI. Proses tersebut harus dilakukan secara profesional berdasarkan aturan yang berlaku.

Di sisi lain, dia juga meminta kepada pemerintah agar menjadikan kerusuhan akhir Agustus 2025 sebagai alarm. Harus ada upaya tegas dalam penegakan Undang-Undang ITE terhadap para pelaku penyebaran DFK. Sebab, tindakan mereka bisa mengancam masa depan bangsa.

"Karena kalau tidak, DFK ini akan jadi virus sosial yang menggerogoti bangsa dari dalam. Hari ini korbannya pejabat, besok bisa siapa saja dari kita," tegasnya.

KEYWORD :

Sidang MKD DPR Penjarahan Rumah Anggota DPR Pencopotan Anggota DPR Harus Pembuktian Hukum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :