Ilustrasi slow living untuk hidup lebih tenang dan berkualitas (Foto: Pexels/Ruly Nurul Ihsan)
Jakarta, Jurnas.com - Di era serba digital, banyak orang mulai merasa jenuh dengan ritme hidup yang terlalu cepat. Muncullah tren slow living, yaitu gaya hidup yang mengajarkan manusia untuk melambat, menikmati proses, dan hidup lebih sadar.
Konsep slow living bukan berarti malas atau anti produktif, melainkan menyadari setiap momen dan memilih kualitas dibanding kuantitas. Gaya hidup ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya sibuk yang sering kali membuat stres.
Slow living mengajarkan untuk tidak terjebak dalam keharusan selalu berhasil atau berprestasi. Fokusnya ialah hidup dengan tenang dan bermakna, bukan sekadar sibuk tanpa arah.
Contohnya, seseorang yang menerapkan slow living mungkin memilih bekerja dengan ritme yang lebih manusiawi, mengurangi konsumsi digital, atau meluangkan waktu lebih banyak di alam.
Sejumlah psikolog menyebut slow living sebagai bentuk perlawanan terhadap stres kronis akibat multitasking dan tekanan sosial. Dengan memperlambat langkah, seseorang bisa menemukan kembali makna hidup yang sederhana namun menenangkan.
Salah satu cara memulai slow living adalah dengan mengurangi distraksi digital. Cobalah membatasi waktu layar, tidak membuka ponsel begitu bangun tidur, atau menetapkan jam bebas gadget setiap hari.
Selain itu, praktik mindfulness dan gratitude journaling juga dapat membantu hidup lebih sadar dan damai. Dengan mensyukuri hal-hal kecil, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian besar.
Slow living juga mendorong kebiasaan hidup berkelanjutan, seperti makan makanan lokal, mengurangi konsumsi berlebihan, dan menikmati alam tanpa tergesa-gesa.
Tren ini kini banyak diadopsi oleh generasi muda yang mulai lelah dengan tekanan untuk terus produktif. Mereka memilih hidup lebih lambat, namun bahagia dan selaras dengan diri sendiri.
KEYWORD :slow living gaya hidup sederhana mindful living

























