Ilustrasi banjir (Istimewa)
Jakarta, Jurnas.com - Kisah banjir besar zaman Nabi Nuh AS adalah salah satu kisah paling terkenal di dunia. Kisah Nabi Nuh dan kaum yang ditenggelamkan disebutkan berulang kali dalam Al-Qur’an, bahkan terdapat surah khusus, surah ke-71, Surah Nuh.
Kisah banjir besar yang disebutkan dalam Al-Qur`an itu bukan sekadar kisah masa lalu. Al-Qur’an menggambarkannya sebagai peristiwa monumental yang mengubah peradaban manusia, sekaligus sebagai peringatan keras bagi umat yang menolak kebenaran.
Dalam Al-Qur’an, banjir tersebut diyakini sebagai adzab Ilahi bagi kaum musyrik yang menyembah berhala-berhala bernama Wudd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka menolak seruan tauhid Nabi Nuh AS meski beliau telah berdakwah selama 950 tahun tanpa lelah.
Nabi Nuh AS menyeru kaumnya siang dan malam agar menyembah Allah SWT semata. Namun, sebagaimana dicatat dalam surah Nuh (ayat 5–10), ajakan itu justru diabaikan. Kaumnya berdalih bahwa seorang nabi seharusnya bukan manusia biasa, bahkan merendahkan status sosial dan nasab Nabi Nuh.
Ketika wahyu turun bahwa tidak akan ada lagi yang beriman, Nabi Nuh berdoa, “Ya Tuhanku, jangan biarkan seorang pun dari orang kafir itu tinggal di muka bumi.” (QS Nuh: 26). Doa itu menjadi titik balik sejarah: azab besar segera tiba.
Sumber klasik seperti Majma’ al-Bayān karya Syaikh Thabrisi menjelaskan, sebelum banjir datang, kaum Nuh mengalami masa kekeringan panjang. Laki-laki dan perempuan menjadi mandul selama 40 tahun, dan kelaparan melanda di setiap penjuru.
Namun, meski tersiksa, mereka tetap menolak bertobat dan bahkan saling mengingatkan agar tidak melupakan berhala-berhala mereka. Hingga akhirnya, doa Nabi Nuh dikabulkan. Air memancar dari bumi dan langit sekaligus, menenggelamkan segalanya kecuali mereka yang beriman dan berada di dalam bahtera besar yang dibangun atas perintah Allah Swt.
Al-Qur’an menyebut kisah banjir Nuh sebanyak 12 kali, tersebar di berbagai surat seperti Hud, Nuh, Ash-Shaffat, dan Al-Qamar. Meski tidak menjelaskan secara detail wilayah banjir, para mufasir berbeda pandangan tentang jangkauannya.
Sebagian ulama berpendapat, banjir itu mendunia, berdasarkan ayat-ayat yang menyebut “bumi” secara mutlak dan perintah Allah kepada Nuh untuk membawa “sepasang dari setiap makhluk hidup”.
Allamah Thabathabai bahkan meyakini, berdasarkan tafsir surah Hud: 43, Nuh: 36, dan Ash-Shaffat: 77, air bah itu meliputi seluruh permukaan bumi. Pandangan ini juga didukung beberapa penelitian geologi yang menemukan lapisan sedimen banjir purba di berbagai wilayah.
Namun, sebagian ahli sejarah berpendapat peristiwa itu bersifat lokal, terbatas di kawasan Mesopotamia, tidak terjadi di seluruh muka bumi. Kisah ini kemudian berkembang dalam berbagai tradisi, termasuk Yahudi dan Sumeria.
Sementara itu, dalam sejumlah hadis, disebutkan bahwa Kabah tidak tersentuh air banjir. Ia disebut Bait al-‘Atiq atau “Rumah Tua yang Dibebaskan” karena aman dari terjangan air. Sebagian riwayat bahkan menyebut, malaikat Jibril atas izin Allah mengangkat Kabah ke langit keempat untuk menjaganya dari bencana tersebut.
Kisah banjir Nabi Nuh AS bukan hanya kisah masa lalu, catatan sejarah, tetapi peringatan moral dan spiritual. Ia mengingatkan bahwa kekuatan iman lebih kokoh dari bahtera mana pun, dan kesombongan manusia adalah gelombang yang menenggelamkan dirinya sendiri. (*)
Wallahu`alam
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Banjir Besar Kisah banjir Nabi Nuh Kitab Suci Al-Qur`an



























