 
                                             Ilustrasi Gedung DPR
Jakarta, Jurnas.com - Pencopotan Anggota DPR RI tidak dapat dilakukan atas dasar amarah atau desakan dari sekelompok publik. Proses tersebut harus dilakukan secara profesional berdasarkan aturan yang berlaku.
Demikian disampaikan Grafolog dan Pengamat Perilaku serta ahli strategi AI, Gusti Ayu Dewi, ketika dihubungi, Jakarta, Jumat (31/10). Menurutnya, status anggota dewan tidak dapat dicabut begitu saja keanggotaannya sebagai anggota DPR RI.
"Soal sanksi administrasi, harus lewat bukti hukum, bukan amarah publik. Sanksi administrasi atau pencopotan jabatan, seharusnya didasarkan pada pembuktian hukum dan mekanisme formal. Kalau kita biarkan emosi menggantikan hukum, maka bangsa ini akan hancur pelan-pelan," tegas Dewi.
Desakan pencopotan status beberapa anggota dewan berawal atas kerusuhan akhir Agustus 2025 yang mengakibatkan pengerusakan fasilitas publik dan penjarahan di berbagai kota besar. Kerusuhan tersebut diyakini ditunggangi oleh kelompok tertentu.
DPP IMM Laporkan Achmad Baidowi ke MKD DPR
Dewi pun mengaku sudah mengamati peristiwa ini sejak demo terhadap Bupati Pati Sudewo yang menaikan pajak. Awalnya gerakan ini terlihat murni gerakan rakyat. Namun, secara perlahan terjadi perubahan pola, seperti ada pihak di balik layar yang mengendalikan.
"Di titik itu saya sadar, ini bukan lagi gerakan spontan rakyat, tapi sudah ada yang mengatur, membingkai, dan menunggangi," kata Dewi.
Dewi menilai, kerusuhan yang terjadi karena opini publik digiring melalui disinformasi dan emosi sosial. Sehingga, logika publik menjadi kacau, dengan begitu rakyat menjadi mudah dibenturkan hingga berujung kerusuhan.
"Berbeda dari perang fisik yang menumpahkan darah, perang ini menyerang pikiran dan persepsi manusia, mengubah cara kita memaknai realitas. Musuhnya tidak kelihatan, tapi dampaknya nyata. Rakyat diadu, dibakar emosinya, dijadikan pion dalam permainan besar," imbuhnya.
Kondisi ini pun yang diyakini memantik kerusuhan demo dan penjarahan rumah pejabat publik pada Agustus 2025. Dewi menilai, salah satu penyebab penjarahan terjadi dipengaruhi oleh disinformasi tersebut.
Dewi tak menampik bahwa para pejabat publik seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya hingga Eko Patrio menunjukan sikap tidak empatik. Namun, adanya disinformasi membuat amuk massa tidak terkontrol hingga terjadi tindak pidana penjarahan, pengancaman, hingga persekusi.
Dewi berpendapat seharusnya para penjabat publik ini dikritik atas sikapnya. Segala bentuk kekerasan maupun penjarahan tidak dibenarkan karena bagian dari kriminalitas.
"Inilah bahayanya DFK (Disinformasi, Fitnah, Kebencian), ketika moral publik dibajak, orang merasa tindakannya benar padahal sudah melanggar hukum," imbuhnya.
Di sisi lain, Dewi juga meminta kepada pemerintah agar menjadikan kerusuhan akhir Agustus 2025 sebagai alarm. Harus ada upaya tegas dalam penegakan Undang-Undang ITE terhadap para pelaku penyebaran DFK. Sebab, tindakan mereka bisa mengancam masa depan bangsa.
"Karena kalau tidak, DFK ini akan jadi virus sosial yang menggerogoti bangsa dari dalam. Hari ini korbannya pejabat, besok bisa siapa saja dari kita," pungkasnya.
KEYWORD :Mahkamah Kehormatan Dewan Sanksi Anggota DPR Aturan Sanksi Anggota DPR Bukti Hukum Bukan Amarah P




 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                





















 
   