Ilustrasi pengecekan diabetes (Foto: Courtesy of University of Newcastle/Handout via Reuters)
Jakarta, Jurnas.com - Selama bertahun-tahun, diabetes tipe 2 sering dianggap sebagai penyakit orang dewasa. Namun kini, anak-anak pun semakin banyak yang terdampak, dan perubahan ini terjadi dengan cepat.
Jika di tahun 1990-an hanya 1–2% anak dengan diabetes yang menderita tipe 2, kini angka itu melonjak jadi 25–50%. Rata-rata usia diagnosis bahkan turun ke 13 tahun, seiring meningkatnya angka obesitas anak.
Namun, berat badan, genetik, atau pola makan bukan satu-satunya faktor. Studi terbaru menemukan faktor lain yang tak kalah penting, yaitu lokasi tempat tinggal anak.
Penelitian dari Florida Atlantic University’s Charles E. Schmidt College of Medicine meneliti lebih dari 174.000 anak di AS, termasuk 50.000 balita, dengan data nasional dari 2016–2020.
Studi ini menelusuri faktor lingkungan, mulai dari keamanan lingkungan, dukungan sosial, hingga akses makanan sehat, untuk memahami bagaimana lingkungan awal anak memengaruhi risiko diabetes tipe 2.
Studi ini tidak hanya meneliti pola makan dan aktivitas fisik, tetapi juga keamanan lingkungan, dukungan sosial, hingga akses bantuan pangan. Tujuan penelitian ini ialah untuk memahami bagaimana lingkungan awal kehidupan anak dapat memengaruhi risiko diabetes tipe 2.
Hasilnya menunjukkan bahwa meski kasus diabetes pada aanak di bawah lima tahun masih rendah, pola lingkungan tertentu mulai terlihat jelas. Beberapa temuan cukup mengejutkan.
Misalnya, tinggal di dekat perpustakaan ternyata berkaitan dengan tingkat diabetes tipe 2 yang lebih tinggi pada anak, baik pada tahun 2016 maupun 2020. Para peneliti menduga hal ini disebabkan karena perpustakaan umumnya berada di kawasan perkotaan dengan sedikit taman atau ruang terbuka hijau.
"Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sekitar seperti keberadaan trotoar, taman, atau ruang hijau, dapat secara langsung memengaruhi kemampuan anak untuk melakukan aktivitas fisik, dan pada gilirannya memengaruhi risiko mereka mengembangkan penyakit kronis seperti diabetes tipe 2," ujar Dr. Lea Sacca, penulis utama studi tersebut.
Penelitian juga menemukan bahwa antara tahun 2016 dan 2020 semakin banyak keluarga yang melaporkan adanya sampah, vandalisme, serta tanda-tanda kerusakan lingkungan di sekitar tempat tinggal. Kondisi ini tidak hanya ditemukan di lingkungan anak sekolah, tetapi juga di kawasan tempat tinggal balita dan anak prasekolah.
Selain itu, beberapa pola spesifik muncul pada tahun-tahun tertentu. Pada 2016, dukungan antar tetangga berhubungan dengan risiko diabetes, sementara pada 2019, faktor yang menonjol adalah kemudahan berjalan kaki di lingkungan sekitar.
Para peneliti kemudian menyoroti peran program bantuan pangan seperti SNAP dan makanan sekolah gratis. Pada 2017, akses terhadap makanan bersubsidi terkait erat dengan kondisi lingkungan, dan pada 2019 hingga 2020 jumlah keluarga yang mengikuti program bantuan ini meningkat pesat.
Namun, peningkatan akses pangan tidak selalu berarti perbaikan gizi. “Akses terhadap bantuan pangan tidak selalu berarti nutrisi yang lebih baik,” ujar Dr. Sacca, menambahkan bahwa anak-anak dari keluarga rawan pangan sering kali memiliki kontrol gula darah yang lebih buruk dan tingkat rawat inap yang lebih tinggi.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa peserta program bantuan pangan atau makan sekolah gratis memiliki kualitas diet yang lebih rendah dibanding keluarga berpenghasilan serupa yang tidak ikut program tersebut. Artinya, meski bantuan pangan tetap penting, kualitas makanan yang dikonsumsi anak-anak perlu menjadi perhatian utama.
Banyak makanan yang terjangkau justru tinggi gula, lemak, dan kalori kosong, yang semuanya dapat meningkatkan risiko diabetes. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tantangan kesehatan anak tidak hanya terkait dengan ketersediaan makanan, tetapi juga dengan kualitas pilihan yang ada.
Sementara itu, obesitas masih menjadi faktor risiko terbesar. Anak dengan berat badan berlebih empat kali lebih mungkin mengidap diabetes tipe 2 sebelum usia 25 tahun dibanding anak dengan berat badan sehat.
Konsumsi minuman manis menjadi salah satu penyumbang utama, dengan sekitar 70 persen anak usia dua hingga lima tahun mengonsumsinya setiap hari. Aturan sekolah yang melarang penjualan soda memang membantu, tetapi kebiasaan konsumsi minuman bergula masih tinggi.
Dr. Sacca mengingatkan bahwa peningkatan kasus diabetes tipe 2 pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Menurutnya, pencegahan perlu dilakukan melalui strategi menyeluruh yang mencakup akses ke makanan bergizi, lingkungan yang mendukung aktivitas fisik, dan kebijakan kesehatan sejak masa kanak-kanak.
Beberapa program sekolah telah membuktikan bahwa perubahan pola makan dan peningkatan aktivitas fisik pada anak dapat dilakukan jika ada dukungan yang tepat. Namun, agar hasilnya bertahan lama, upaya tersebut harus dimulai sejak dini dan diperluas hingga ke lingkungan tempat anak tumbuh.
Studi ini dipublikasikan di jurnal Pediatric Research. Sumber: Earth
KEYWORD :Tempat Tinggal Lingkungan Anak Diabetes pada Anak Pencegahan diabetes












