
Ilustrasi sedang berdoa (Foto: Pexels/Abdullah Ghatasheh)
Jakarta, Jurnas.com - Agama membentuk masa kecil jauh sebelum sains bertanya apa dampaknya bagi kesehatan. Bagi banyak orang, tumbuh dalam lingkungan religius berarti kenyamanan, ritual, dan rasa memiliki. Bagi sebagian lain, hal itu juga membawa kewajiban dan rasa bersalah.
Peneliti dari University of Helsinki ingin tahu apakah pengalaman religius masa kecil meninggalkan jejak hingga puluhan tahun kemudian. Studi mereka menelusuri hubungan antara didikan religius dan kesehatan di usia lanjut di 28 negara Eropa.
Dilansir dari Earth, hasil dari penulusuran itu menunjukkan tidak seperti yang dibayangkan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga beragama cenderung memiliki kemampuan fisik lebih baik, tetapi kesehatan mental dan kognitif lebih buruk di masa tua.
Studi terhadap lebih dari 10.000 orang berusia 50 tahun ke atas menunjukkan hampir delapan dari sepuluh responden dibesarkan secara religius. Mereka umumnya berasal dari keluarga yang lebih tua, kurang berpendidikan, dan berpenghasilan rendah, di mana agama sering menjadi bagian dari cara bertahan hidup, bukan pilihan bebas.
Hasilnya, mereka yang tumbuh religius melaporkan kesehatan diri yang sedikit lebih buruk dibandingkan yang tidak. Namun, pola ini tidak merata.
"Meskipun agama dapat memberikan beberapa manfaat, hal itu tidak serta-merta sepenuhnya mengurangi risiko kesehatan yang terkait dengan kerugian jangka panjang," ujar Xu Zong, peneliti dari University of Helsinki.
Dalam penelitian ini, iman berperan seperti pedang bermata dua. Satu sisi membangun ketahanan, tapi sisi lain memperlihatkan luka kehidupan.
Riset ini menunjukkan bahwa agama sering kali mencerminkan kondisi sosial, bukan mengubahnya. Keluarga miskin atau yang bergulat dengan masalah mental dan alkohol sering menjadikan agama sebagai pegangan dan struktur hidup. Anak-anak yang tumbuh dalam situasi itu membawa iman sekaligus beban hingga dewasa.
“Secara khusus, masalah kesehatan mental pada orang tua dan konsumsi alkohol berlebihan memperkuat hubungan negatif antara didikan religius di masa kecil dan penilaian diri terhadap kesehatan di usia lanjut,” jelas Zong.
Bagaimana agama membentuk kesehatan? Menurut penelitian ini, agama memengaruhi kesehatan melalui banyak jalur halus.
Mereka yang belajar kesabaran, syukur, dan pengampunan sejak dini mungkin lebih mampu menghadapi stres di kemudian hari. Doa dan ibadah bersama memperkuat hubungan sosial, tetapi aturan yang kaku atau rasa bersalah berlebihan bisa menjadi sumber tekanan batin.
Peneliti menemukan tiga jalur utama pengaruh agama. Pertama, emosi. Jalur ini membentuk cara seseorang mengelola stres. Kedua, jaringan sosial yang memperkuat dukungan komunitas. Ketiga, kebiasaan hidup. Jalur ini menanamkan disiplin dan kontrol diri.
Namun, bagi sebagian orang, tuntutan moral yang ketat sejak kecil justru menimbulkan tekanan psikologis yang berlangsung lama. Dengan metode pembelajaran mesin bernama causal forest, para peneliti melacak hubungan kompleks antara agama dan kesehatan.
Mereka menemukan variasi jelas: perempuan, mereka yang berusia di atas 65 tahun, belum menikah, dan berpendidikan rendah cenderung melaporkan kesehatan lebih buruk bila dibesarkan secara religius. Menariknya, mereka yang berdoa tapi jarang menghadiri kegiatan keagamaan juga menunjukkan kondisi kesehatan lebih rendah.
Konteks sejarah Eropa turut menjelaskan temuan ini. Setelah Perang Dunia II, pendidikan agama sangat umum. Namun, ketika sekularisasi meningkat, jarak antara keyakinan masa kecil dan kehidupan modern makin melebar. Bagi sebagian orang, agama yang dulu memberi rasa aman kini terasa tidak relevan.
Di Amerika Serikat, hasilnya kerap berbeda: masyarakat yang masih sangat berpusat pada agama cenderung mendapat manfaat kesehatan lebih besar. Namun, di Eropa, iman sering kali tinggal sebagai kenangan moral, bukan panduan hidup sehari-hari.
Peneliti menegaskan bahwa agama di masa kecil tak bisa dipisahkan dari ketimpangan sosial. Keluarga dengan sumber daya terbatas sering menurunkan bukan hanya kebiasaan berdoa, tapi juga keterbatasan peluang.
Zong mengatakan bahwa berinvestasi pada kesejahteraan anak jauh lebih efektif membangun masa depan yang sehat dan setara. Agama mungkin meredakan penderitaan, tetapi dukungan sosial dan kondisi stabil sejak dini jauh lebih menentukan kesehatan jangka panjang.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Social Science & Medicine ini menantang anggapan bahwa iman otomatis membawa hidup yang lebih sehat. Agama memang memberi banyak orang dasar moral dan rasa kebersamaan, namun manfaatnya memudar bila kemiskinan dan stres terus berlangsung.
Menjelang 2050, ketika populasi dunia berusia di atas 60 tahun diperkirakan mencapai lebih dari dua miliar, memahami bagaimana pengalaman masa kecil membentuk kesejahteraan menjadi semakin penting. (*)
Sumber: Erath
KEYWORD :
Keluarga Religius Pengalaman Religius Dampak Religius pada Kesehatan