Kamis, 23/10/2025 14:33 WIB

Sidang Sengketa Nikel, Dua Ahli Jaksa Malah Dukung Posisi PT WKM

Sidang sengketa nikel, ahli pertambangan memberi pandangannya terkait Pembukaan jalan PT Position

Suasana sidang sengketa nikel hadirkan saksi ahli pertambangan. (Foto: Jurnas/Ira).

Jakarta, Jurnas.com- Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara pidana terkait patok lahan nikel yang melibatkan PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) di Halmahera Timur. Sidang kali ini menghadirkan dua ahli, yakni Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan Ougy Dayyantara, ahli pertambangan.

Ahli pertambangan Ougy menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018, kegiatan penambangan mencakup tahapan pembukaan lahan, penggalian, dan pengambilan mineral.

Dari hasil pemeriksaan di lapangan yang ditunjukkan di persidangan, ditemukan adanya pembukaan jalan hauling lebih dari 100 meter dan galian hingga 20 meter, yang dinilai melebihi ketentuan teknis. “Kalau dilihat dari foto dan video di lapangan, kegiatan itu bukan sekadar pembukaan jalan, tapi sudah termasuk aktivitas pertambangan,” jelas Ougy di hadapan majelis hakim.

Sang ahli pertambangan juga mengonfirmasi nikel yang ditemukan di lokasi dibuang di sekitar area jalan, dan hal itu menjadi perhatian karena nikel termasuk sumber daya strategis yang dikuasai negara. “Semestinya yang berwenang memastikan hal ini tidak terjadi,” ujar Ougy saat diperiksa hakim ketua Sunoto.

Ketika ditanya soal pemasangan patok batas wilayah tambang, Ougy menegaskan pemasangan tanda batas adalah kewajiban bagi pemegang izin operasi produksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021. Ia menambahkan, aktivitas pertambangan di luar izin tetap tidak diperbolehkan tanpa persetujuan kepala teknik tambang (KTT) wilayah berdekatan. Sementara dalam fakta sidang sebelumnya, KTT mempertanyakan aktivitas penambangan PT Position tersebut, yang di luar aturan.

Ougy, seperti sejumlah saksi sebelumnya, yang dipanggil jaksa untuk menguatkan dakwaan, malah berbalik menguatkan posisi PT WKM yang dipidana penyidik Bareskrim Polri atas laporan PT Position. Dakwaan jaksa adalah dua karyawan PT WKM membuat patok yang menghalangi aktivitas penambangan PT Position. Sementara penambangan itu dilakukan di wilayah izin usaha penambangan atau IUP milik PT WKM.

Seperti dikatakan ahli pertambangan tersebut, bahwa pemilik IUP, yakni PT WKM wajib menjaga area produksinya agar tak diambil oleh pihak lain. Untuk itu, dua karyawan yang kini jadi terdakwa, Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang memasang patok untuk melindungi area produksi penambangan mereka. Namun, upaya ini malah dianggap menghalangi PT Position yang menambang di wilayah PT WKM.

Ahli lain, yakni bidang pidana, Chairul Huda menilai perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lebih tepat diselesaikan secara administratif atau perdata, bukan pidana. Kata Huda, sengketa yang muncul antara dua perusahaan tambang terkait klaim wilayah izin usaha pertambangan (IUP) menunjukkan adanya perbedaan kepentingan korporasi, bukan perbuatan pidana.

“Kalau memang ada sengketa antarperusahaan terkait batas wilayah, maka seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata atau administratif. Hukum pidana itu ultimum remedium, alat terakhir jika cara lain tidak dapat ditempuh,” ujar Khairul Huda di persidangan, Rabu 22 Oktober 2025.

Ia menambahkan, PT Position telah menjalin perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT WKS atau Wana Kencana Sejati, pemegang izin penggunaan kawasan hutan, maka aktivitas PT Position di area tersebut dapat dikategorikan sah selama tidak melampaui perjanjian.

Namun, ia menilai ada pelanggaran atau yang di luar perjanjian, yakni, kurangnya perlindungan kawasan hutan dan kepastian hukum. Padahal ini harus dilakukan, terutama oleh PT WKS sebagai pemilik hak pengelolaan hutan, agar negara tidak kehilangan sumber daya alamnya, yakni pepohonan alam. Dalam pembukaan jalan serta penambangan yang dilakukan PT Position, sejumlah pohon ditebang.

Setuju dengan ahli pidana, Chairul Huda, Otto Cornelis Kaligis, penasihat hukum terdakwa Awwab dan Marsel, menilai kasus patok lahan nikel di Halmahera Timur seharusnya tidak masuk ranah pidana. Kenyataannya, atas laporan PT Position yang didukung penyidik di Bareskrim Polri, kasus ini malah jadi agenda sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kaligis menyebut, fakta di lapangan menunjukkan kliennya adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang sah, sehingga tindakan pemasangan patok di wilayah tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

“Bahwa sebenarnya ini bukan perkara yang harus dimajukan ke pengadilan. Apalagi kita adalah pemegang IUP. Rekan saya sudah menjelaskan keadaan di lapangan, tapi ketika ahlinya mengatakan bukan kewenangannya, itu bohong besar,” ujar OC Kaligis di ruang sidang.

Rolas Sitinjak, kuasa hukum lain, menilai keterangan para ahli yang dihadirkan jaksa, yakni ahli pidana dan pertambangan justru mendukung pihaknya. “Ahli pidana sendiri menyatakan, jika patok dipasang di wilayahnya WKM, ini bukan delik pidana. Jadi makin terang, perkara ini seharusnya tidak perlu masuk ke pengadilan,” kata Rolas.

Rolas juga menyayangkan sikap pihak PT Position yang tidak merespons ajakan damai sejak awal. Surat dan permintaan pertemuan dari PT WKM sejak sebelum perkara hukum ini mencuat, tidak digubris. “Kami sudah berkali-kali bersurat dan mencoba komunikasi, tapi tidak direspons. Sekarang malah seolah-olah kami yang bersalah,” ujarnya.

Menurutnya, seharusnya perkara ini dapat diselesaikan secara administratif antar perusahaan dan kementerian terkait, bukan melalui jalur pidana.

KEYWORD :

Chairul Huda Lahan Nikel Halmahera Timur




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :