
Ilustrasi sedang bahagia (FOTO: GETTY IMAGE)
Jakata, Jurnas.com - Penyakit kronis tidak menular seperti jantung, kanker, diabetes, dan asma menyumbang sekitar tiga perempat kematian global pada 2021 di luar masa pandemi. Selama ini, faktor risiko seperti genetika, lingkungan, dan gaya hidup dianggap dominan.
Namun, sebuah studi baru yang dipimpin oleh Iulia Iuga dari Universitas 1 Decembrie 1918 di Rumania menemukan bahwa kebahagiaan dapat menjadi aset kesehatan masyarakat, asalkan suatu negara atau komunitas sudah melampaui skor 2,7 dalam indeks Life Ladder (skala 0–10).
Tim peneliti ini menganalisis hubungan antara kebahagiaan dan angka kematian akibat penyakit kronis pada usia paruh baya. Mereka menggunakan skala “Life Ladder”, di mana responden menilai kondisi hidupnya dari 0 (terburuk) hingga 10 (terbaik).
Temuan utama studi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan mulai berdampak positif terhadap penurunan kematian penyakit tidak menular setelah skor Life Ladder sebuah negara melampaui angka 2,7. Di bawah angka tersebut, atau dalam kondisi yang disebut peneliti sebagai “hanya bertahan hidup”, peningkatan kebahagiaan belum memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.
Data yang dikumpulkan berasal dari 123 negara dalam rentang waktu 2006 hingga 2021. Rata-rata skor Life Ladder global berada di angka 5,45, dengan kisaran nasional antara 2,18 hingga 7,97.
Ketika skor nasional sudah melewati ambang 2,7, setiap kenaikan satu poin dalam kebahagiaan dikaitkan dengan penurunan sekitar 0,43 persen dalam angka kematian akibat NCD pada usia 30 hingga 70 tahun. Menariknya, tidak ditemukan bukti bahwa tingkat kebahagiaan yang sangat tinggi justru berbalik merugikan kesehatan.
Temuan ini menyiratkan bahwa kebahagiaan tidak berperilaku linier, melainkan memiliki efek yang baru muncul setelah stabilitas dasar terpenuhi. Artinya, manfaat kesejahteraan baru terasa ketika masyarakat tidak lagi dibebani oleh ketidakpastian hidup yang ekstrem.
Negara-negara yang telah melampaui ambang tersebut umumnya memiliki struktur yang lebih kuat, seperti belanja kesehatan per kapita yang tinggi, sistem perlindungan sosial yang kokoh, serta pemerintahan yang relatif stabil. Faktor-faktor ini dinilai memberi ruang bagi kebahagiaan untuk mendorong perilaku sehat, memperkuat hubungan sosial, dan mempermudah akses layanan kesehatan.
Sebaliknya, di negara yang skor kebahagiaannya rendah, efek perlindungan dari peningkatan mood kecil kemungkinan besar terhambat oleh tekanan hidup sehari-hari. Kondisi ini menjelaskan mengapa kebijakan peningkatan kebahagiaan belum cukup efektif di wilayah yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Oleh karena itu, studi ini menyarankan investasi pada hal-hal yang lebih mendasar terlebih dahulu agar kebahagiaan bisa menghasilkan dampak kesehatan yang nyata. Ini mencakup program pengendalian obesitas, pembatasan konsumsi alkohol berbahaya, peningkatan standar udara bersih, hingga penguatan layanan kesehatan primer.
Tak hanya itu, kebijakan sosial seperti jaminan pendapatan, kestabilan tempat tinggal, dan akses terhadap perawatan medis juga dibutuhkan untuk mendorong masyarakat melewati ambang kesejahteraan minimal. Ketika titik ini tercapai, kebahagiaan tak lagi menjadi sekadar perasaan, melainkan bagian dari fondasi kesehatan masyarakat.
Meski begitu, peneliti mengakui bahwa studi ini bersifat ekologis dan mengandalkan laporan subjektif, yang bisa dipengaruhi budaya atau bias pelaporan. Karena itu, mereka mendorong riset lanjutan yang mengaitkan kesejahteraan dengan indikator klinis seperti angka rawat inap atau tahun hidup dengan disabilitas.
Studi lanjutan juga penting dilakukan di negara-negara berpenghasilan rendah dan wilayah terdampak konflik, karena efek ambang kebahagiaan bisa berbeda secara signifikan. Saat ini, data dari wilayah tersebut masih sangat terbatas. (*)
Sumber: Earth
KEYWORD :Manfaat Kebahagiaan Risiko Penyakit Kronis indeks Life Ladder