Senin, 20/10/2025 21:27 WIB

Legislator PKB Minta Penegakan HAM Tak Sekadar Narasi

Mafirion menilai masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dalam satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PKB, Mafirion, memandang upaya pemerintah memisahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menjadi kementerian tersendiri merupakan sinyal positif dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dalam memperkuat komitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia.

"Pemisahan itu menunjukkan bahwa pemerintah ingin memberi ruang lebih besar bagi isu-isu HAM agar tidak tenggelam dalam urusan hukum dan administrasi negara," kata Mafirion di Jakarta, pada Senin (20/10/2025).

Menurut dia, perhatian terhadap HAM juga tercermin dalam program Asta Cita, di mana demokrasi dan hak asasi manusia ditempatkan pada urutan pertama dari delapan cita pembangunan nasional.

"Ini menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo ingin menempatkan HAM sebagai fondasi utama dalam membangun negara," Mafirion menambahkan.

Penunjukan Natalius Pigai sebagai Menteri HAM juga disebutnya sebagai langkah simbolik sekaligus substantif yang penting. Pigai dinilai sebagai sosok aktivis HAM yang diharapkan dapat membawa komitmen baru dalam penegakan HAM.

"Publik tentu menaruh harapan besar bahwa penunjukkan Menteri HAM bukan hanya simbol, tapi harus menjadi motor perubahan dalam praktik penegakan HAM di lapangan," kata dia.

Lebih lanjut, Mafirion mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra yang menegaskan bahwa pemerintah menyadari masih banyak tugas yang belum terselesaikan, namun tetap berkomitmen untuk menghormati dan menegakkan hak asasi manusia.

"Pernyataan itu harus diterjemahkan dalam kebijakan konkret, bukan sekadar wacana politik," kata Mafirion.

Meski begitu, Mafirion menilai masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dalam satu tahun pemerintahan ini.

Sejumlah lembaga masyarakat sipil seperti KontraS, YLBHI, dan berbagai organisasi advokasi HAM masih mencatat adanya keterlambatan dan kekurangan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dan transparan dengan kelompok masyarakat sipil. Penegakan HAM tidak boleh berhenti pada simbol atau seremonial, tapi harus diwujudkan dalam langkah nyata yang berpihak pada korban," ujar dia.

Selain itu, Mafirion menyoroti pengetatan anggaran yang berdampak pada tersendatnya bantuan sosial bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia menilai bahwa program pemulihan hak korban harus menjadi prioritas utama.

"Negara tidak boleh abai terhadap tanggung jawab moral dan konstitusionalnya. Bantuan sosial untuk korban pelanggaran HAM berat bukan belas kasihan, tetapi bentuk pemulihan yang dijamin oleh konstitusi," dia menambahkan.

Tak hanya itu, dia juga mencatat masih adanya potensi pelanggaran HAM dalam sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti di kawasan Rempang-Galang dan beberapa proyek lainnya.

"Proyek strategis tidak boleh mengorbankan hak rakyat atas tanah, lingkungan, dan tempat tinggal. Pemerintah harus memastikan pendekatan pembangunan yang humanis dan berkeadilan," ujar Mafirion.

Dia menegaskan bahwa arah kebijakan pemerintah di bidang HAM harus terus dijaga agar sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yakni pembangunan yang berkeadilan, berpihak pada kemanusiaan, dan menempatkan rakyat sebagai subjek utama pembangunan.

"Penegakan HAM yang sejati adalah yang berpihak pada rakyat dan selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam Pasal 33 UUD 1945," kata dia menambahkan.

KEYWORD :

Mafirion PKB Partai Kebangkitan Bangsa Penegakan HAM Anggota Komisi XIII




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :