
Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad Alaydrus. (Foto: Dok. Parlementaria)
Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Habib Syarief Muhammad menilai tayangan Trans7 yang menyorot kehidupan pesantren tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya. Ia menyebut, laporan tersebut bersifat parsial dan gagal memahami nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan pesantren di Indonesia.
“Pesantren sudah ada sejak masa para Wali Songo. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren berkembang pesat sejak abad ke-17. Kalau ada tayangan yang menampilkan pesantren secara tidak utuh, itu bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah dan kultur pesantren,” kata Habib Syarief dalam forum Dialektika Demokrasi bertema “Antara Tradisi dan Modernitas: Mampukah Pesantren Bertahan” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/10).
Habib Syarief menjelaskan, peran kiai dalam pesantren sangat sentral, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga pembimbing spiritual yang berkhidmat sepanjang waktu. Ia menegaskan, sebagian besar pesantren di Indonesia tidak memungut biaya pendidikan tinggi dari para santrinya.
7 Alasan Sebaiknya Hindari Hubungan tanpa Status
“Kiai tidak digaji, dan banyak pesantren yang hanya memungut biaya makan sekitar Rp200 ribu per bulan tanpa uang sekolah. Pesantren seperti Lirboyo, misalnya, dari 40 ribu santri, sekitar 20 persen belajar secara gratis,” ujarnya.
Ia menambahkan, kehidupan pesantren tidak bisa diukur dengan logika ekonomi. “Ada nilai ikhlas, tawadhu, dan barokah yang tidak bisa diterjemahkan secara duniawi. Figur kiai itu bukan hanya pemimpin dunia, tapi juga pemimpin akhirat,” tutur legislator asal PKB itu.
Menyoroti polemik tayangan Trans7, Habib Syarief menyebut reporter dan tim produksi seharusnya melakukan riset mendalam sebelum menayangkan konten yang sensitif. Menurutnya, banyak pesantren dan alumni yang bisa menjadi sumber valid untuk menjelaskan kehidupan pesantren yang sebenarnya.
“Kalau mereka bertanya pada dua atau tiga alumni saja, pasti akan tahu bahwa gambaran dalam tayangan itu tidak benar. Saya tidak menolak tayangan itu, tapi sayang sekali, tidak berhasil memotret pesantren secara utuh,” kata Habib Syarief.
Ia juga menegaskan bahwa sebagian besar pesantren di Indonesia berdiri secara mandiri tanpa sokongan besar dari pemerintah. “Mungkin hanya 20 persen yang mendapat bantuan negara. Selebihnya murni dari kekayaan pribadi kiai atau warisan keluarga,” katanya.
Habib Syarief menekankan bahwa pesantren tidak hanya mendidik santri dalam ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter. Ia menuturkan pesan gurunya di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, yang melarang santri menentukan tarif ceramah.
“Guru saya bilang, begitu kamu menentukan nominal amplop, saat itu juga ilmu menghilang. Itu bentuk pendidikan akhlak yang tidak ditemukan di lembaga lain,” ujarnya.
Menurutnya, hal-hal seperti penghormatan kepada guru, hidup sederhana, dan ketulusan dalam mengabdi adalah nilai yang tidak dapat diukur dengan standar rasional semata. “Cium tangan itu bukan simbol feodalisme, tapi wujud takzim dan hormat,” tambahnya.
Di akhir paparannya, Habib Syarief meminta media massa untuk lebih berhati-hati dalam menayangkan konten tentang pesantren. Ia menyebut sudah banyak penelitian akademik yang bisa dijadikan rujukan, termasuk karya Gus Dur dan beberapa studi dari peneliti luar negeri.
“Kalau ingin memahami pesantren, datanglah langsung ke kiai, lihat bagaimana mereka hidup dan membimbing santri. Pesantren adalah benteng moral bangsa,” pungkasnya.
KEYWORD :