
Ilustrasi Kisah Prabu Siliwangi Kepincut Subang Larang, Santri Putri Cantik sedang Baca Al-Quran (Foto: Terasmuslim/Kabarindramayu)
Jakarta, Jurnas.com - Dalam lintasan sejarah Sunda, Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja besar Kerajaan Pajajaran yang bijaksana, namun juga sebagai sosok spiritual yang terlibat dalam transisi budaya besar, yakni pertemuan antara ajaran leluhur Sunda Wiwitan dan agama Islam. Salah satu momen penting dalam transisi itu adalah pertemuannya dengan Nyi Subang Larang, santri putri cantik yang kemudian mengubah arah sejarah Sunda.
Berdasarkan tradisi lisan dan sejumlah sumber tertulis, seperti buku Sejarah Pajajaran karya Saleh Danasasmita (1997), dan Jurnal Lektur Keagamaan, kisah cinta Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang dimulai dari sebuah pesantren di Karawang. Di sanalah Nyi Subang Larang menuntut ilmu agama Islam dari Syekh Quro, ulama asal Provinsi San Xi, Tiongkok Utara. Ulama yang dikenal dengan Syaikh Hasanudidn ini juga berdakwah di Negeri Champa (Kamboja). Kemudian ia datang ke Karawang, Jawa Barat, dan menjadi salah satu pionir dakwah Islam di tanah Sunda.
Dalam pengajian yang pernah disampaikan oleh K.H. Said Aqil Siradj, dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi, sang Pangeran Pemanah Rasa, awalnya geram mendengar kabar adanya seorang ulama asal Tiongkok, Haji Hasanuddin (Syekh Quro), yang mengajarkan Al-Qur’an di wilayah Rengasdengklok, Karawang. Bagi Prabu Siliwangi yang masih kuat memegang ajaran Sunda Wiwitan saat itu, ajaran baru dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan leluhur.
Ini Pandangan Islam tentang Anak Perempuan
Ia merasa tersinggung dan menganggap ajaran baru itu mengganggu tatanan spiritual kerajaannya. Dengan amarah yang membara, Prabu Siliwangi pun memutuskan untuk pergi sendiri dan “membereskan” Syekh Quro—dalam kata lain, berniat membunuhnya. Namun takdir berkata lain.
Ketika tiba di pesantren Syekh Quro, Prabu Siliwangi tak langsung menyerang. Ia justru terdistraksi oleh suara lantunan Al-Qur’an yang merdu, lembut dan tenang. Suara itu datang dari seorang santri putri cantik. Menurut Said Aqil Siradj, santri itu digambarkan “kutilang”: kuning, tinggi, dan langsing.
Bacaan Al-Quran yang merdu dan paras cantik pembacanya itu membekas di hati Prabu Siliwangi, membuat amarahnya mereda dan rasa takjub muncul perlahan. Setelah diselidiki, suara itu berasal dari Nyi Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa dari Cirebon.
Subang Larang bukan hanya cantik, tapi juga cerdas, dan tengah berguru kepada Syekh Quro dalam mendalami Al-Qur’an. Kekaguman Prabu berubah menjadi cinta, hingga ia menyatakan keinginan untuk menikahinya.
Namun cinta itu tak semudah dikabulkan, karena Syekh Quro menetapkan syarat khusus untuk pernikahan. Syaratnya adalah Prabu harus mengucapkan dua kalimat syahadat dan memberikan maskawin berupa tasbih atau lintangkerti yang hanya ada di Tanah Arab.
Prabu Siliwangi menyanggupinya dengan keyakinan penuh, bahkan mengatakan akan langsung terbang untuk mencarinya. Biasanya, ia bisa terbang cukup dengan membaca mantra “hong,” tapi kali ini kesaktiannya tidak bekerja.
Melihat kebingungan sang raja, Syekh Quro berkata bahwa jika ingin berhasil terbang, maka ia harus membaca “Bismillahirrahmanirrahim.” Prabu menurut, meskipun bacaannya masih terdapat “hong” di ujungnya.
Akhirnya dengan membaca bismillah, Prabu Siliwangi berhasil menjalankan misinya dan membawa kembali lintangkerti dari negeri Arab. Maka, syarat pernikahan pun terpenuhi sepenuhnya.
Menurut Said Aqil, dari peristiwa itu terjadilah pernikahan antara Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang kelak mengubah arah sejarah Sunda. Pernikahan itu menjadi titik temu antara ajaran Islam dan kearifan lokal Sunda Wiwitan.
Meski keislaman Prabu Siliwangi diragukan, ia memberi kebebasan pada istrinya untuk menjalankan keyakinan dan mengajarkannya pada anak-anak mereka. Dari pasangan ini lahir tiga tokoh besar yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa.
Raden Walangsungsang, anak sulung mereka, menjadi Ki Kuwu Cirebon dan pendiri cikal bakal kesultanan Islam pertama di Jawa Barat. Ia dikenal memiliki ilmu kesaktian sekaligus pemahaman agama yang dalam.
Putra kedua, Prabu Kian Santang atau Syekh Rahmatullah, kelak mengislamkan banyak tokoh Sunda hingga ke pelosok. Ia dikenal sebagai tokoh spiritual besar, dimakamkan di Gunung Godog, Garut.
Putri bungsu mereka, Nyimas Rara Santang, menikah dengan Sayyid Abdullah Azmatkhan dari Gujarat, India. Dari keturunan mereka lahirlah Sunan Gunung Jati, Wali Songo yang mengislamkan pesisir barat Pulau Jawa.
Maka, kisah cinta Prabu Siliwangi dan Subang Larang bukan sekadar kisah asmara, melainkan awal perubahan besar dalam sejarah peradaban Nusantara. Sebuah pertemuan dua jalan: antara kesaktian dan keimanan, antara tradisi leluhur dan wahyu.
Kisah ini sejalan dengan cerita dari K.H. Aqil Siradj yang sering menggambarkan kekuatan spiritual bacaan Al-Qur’an. Beliau menuturkan bagaimana Umar bin Khattab—sebelum masuk Islam—tersentuh oleh lantunan Al-Qur’an yang dibaca oleh adiknya sendiri. Dari sosok yang keras, Umar luluh, lemas, bahkan "ngelumpruk" dalam istilah Jawa—tanda takluknya hati pada wahyu.
Kisah Prabu Siliwangi yang terpukau oleh bacaan Al-Qur’an Nyi Subang Larang menunjukkan fenomena serupa. Ini bukan hanya soal kekuatan kata, tapi pancaran iman yang meresap sampai ke dalam jiwa. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Kisah Prabu Siliwangi Al-Quran Santri Putri Subang Larang Islam