Minggu, 12/10/2025 00:12 WIB

Pandangan Ibnu Sina tentang Kesehatan Mental yang Mendahului Zaman

Ibnu Sina adalah tokoh penting yang tidak hanya berperan dalam pengembangan kedokteran, tetapi juga dalam memahami pentingnya keseimbangan fisik dan jiwa dalam menjaga kesehatan terutama mental

Ibnu Sina dan karya monumentalnya (Foto: RRI)

Jakarta, Jurnas.com - Di dunia kedokteran, nama Ibnu Sina atau Avicenna tetap bersinar sebagai simbol keilmuan dan kemanusiaan. Ia bukan hanya ahli medis, tapi juga pemikir besar yang meletakkan dasar pemahaman tentang kesehatan secara holistik, keseimbangan antara tubuh, pikiran dan jiwa atau metal.

Dihimpun dari laman National Library of Medicine, Ibnu Sina lahir pada tahun 980 M di Afshana, wilayah yang kini masuk dalam Uzbekistan. Ia  tumbuh di tengah tradisi keilmuan yang kuat. Pada usia 13 tahun, ia sudah menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari fisika hingga metafisika.

Pada usia 21 tahun, Ibnu Sina menulis al-Qanun fi al-Tibb atau The Canon of Medicine, yang kemudian menjadi kitab rujukan medis paling berpengaruh selama berabad-abad. Bahkan, dokter ternama William Osler menyebutnya sebagai “buku teks kedokteran paling terkenal yang pernah ditulis”.

Karya-karya Ibnu Sina tak hanya membahas soal penyakit fisik, tapi juga menjangkau ranah jiwa. Ia memahami bahwa tubuh, pikiran, dan jiwa bukan entitas yang secara mutlak terpisah, melainkan saling berkaitan secara erat.

Dalam The Canon of Medicine, Ibnu Sina menjelaskan bahwa gangguan emosional seperti melankolis bisa berdampak langsung pada kondisi fisik seseorang. Baginya, kesehatan mental bukan sekadar kondisi psikologis, tapi bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan.

Gagasannya ini sangat revolusioner di zamannya, ketika banyak gangguan jiwa dianggap sebagai kutukan atau gangguan supranatural. Ibnu Sina justru mendekatinya dengan rasionalitas, observasi, dan empati.

Salah satu kisah paling terkenal adalah ketika ia mengobati seorang pangeran Persia yang mengalami delusi parah dan percaya dirinya seekor sapi. Sang pangeran bahkan menolak makan, yakin bahwa dirinya harus disembelih.

Alih-alih menertawakan atau menghakimi, Ibnu Sina menggunakan pendekatan psikologis yang cermat. Ia berpura-pura menjadi jagal dan mengatakan bahwa sang “sapi” terlalu kurus untuk disembelih, sehingga harus makan terlebih dahulu.

Metode itu berhasil membuat sang pangeran kembali makan dan secara bertahap pulih dari delusinya. Kisah ini menjadi bukti betapa Ibnu Sina sudah menerapkan prinsip-prinsip terapi kognitif jauh sebelum istilah itu dikenal.

Tak berhenti di sana, Ibnu Sina juga dikenal karena kemampuannya membaca denyut nadi sebagai alat diagnosis, tidak hanya untuk fisik, tapi juga untuk kondisi emosional. Ia percaya bahwa nadi bisa berubah tergantung perasaan, seperti saat seseorang jatuh cinta atau cemas.

Pengamatannya terhadap respons tubuh terhadap emosi menjadi dasar awal dari pendekatan psikosomatik dalam dunia medis. Ia membuktikan bahwa denyut jantung bukan sekadar indikator biologis, tapi juga cermin dari gejolak jiwa.

Dengan pendekatan ilmiah namun humanis, Ibnu Sina telah membangun fondasi awal ilmu psikologi medis dalam tradisi Islam. Ia menekankan bahwa penyembuhan harus menyentuh keseimbangan fisik dan jiwa secara bersamaan. (*)

KEYWORD :

Ibnu Sina Kesehatan Mental Ilmuwan Muslim




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :