
Ilustrasi Studi Ungkap Alam Semesta Bisa Berakhir dalam Big Crunch, Ini Perkiraan Waktunya (Foto: Earth)
Jakarta, Jurnas.com - Selama bertahun-tahun, ilmuwan percaya bahwa alam semesta akan terus mengembang selamanya. Keyakinan ini berakar pada anggapan bahwa konstanta kosmologis bernilai positif, mendorong ruang untuk terus meluas.
Namun, sebuah studi baru dari tim peneliti di Cornell University menyuguhkan kemungkinan sebaliknya. Mereka menyatakan bahwa ekspansi semesta bisa melambat, berhenti, lalu berbalik arah hingga akhirnya runtuh dalam peristiwa bernama Big Crunch.
Dalam skenario ini, konstanta kosmologis justru bersifat negatif, bukan positif seperti yang diyakini selama dua dekade terakhir. Jika benar, maka alam semesta tidak kekal, dan memiliki batas usia yang bisa dihitung.
Studi tersebut memperkirakan bahwa umur total semesta mencapai 33 miliar tahun. Dengan usia sekarang sekitar 13,8 miliar tahun, maka masih tersisa sekitar 20 miliar tahun sebelum kontraksi dimulai.
Perkiraan ini didasarkan pada model yang melibatkan dua elemen penting dalam kosmologi: energi gelap dan partikel hipotetis bernama axion. Keduanya digabung dalam satu kerangka teoritis lalu diuji menggunakan data dari proyek observasi seperti DES dan DESI.
Energi gelap diketahui mempercepat laju ekspansi alam semesta, dan selama ini diasumsikan bersifat konstan. Namun hasil pengamatan terbaru menunjukkan bahwa energinya mungkin berubah secara perlahan seiring waktu.
Di sinilah axion berperan sebagai pengganti sementara energi gelap. Partikel ini bersifat ultraringan dan dalam model ini dianggap memicu percepatan awal, namun melemah di kemudian hari.
Ketika pengaruh axion menyusut, konstanta kosmologis yang negatif mulai mendominasi. Inilah yang memicu pembalikan arah dari ekspansi menuju kontraksi.
Hal ini ditegaskan oleh Henry Tye, profesor emeritus fisika dari Cornell, yang memimpin riset ini. Menurutnya, data terbaru menunjukkan sinyal bahwa alam semesta tidak akan mengembang tanpa batas.
Ia menjelaskan bahwa prediksi mengenai semesta yang kolaps memang bukan hal baru. Namun, yang membuat riset ini berbeda adalah kemampuannya memperkirakan kapan dan bagaimana proses kehancuran itu terjadi.
Untuk sampai pada kesimpulan ini, tim peneliti menggunakan persamaan Friedmann yang menggambarkan ekspansi kosmik. Mereka menambahkan dinamika axion dan menghitung evolusi alam semesta ke masa depan.
Mula-mula mereka membuat estimasi kasar secara analitik, lalu menjalankan simulasi numerik berdasarkan parameter hasil observasi. Hasilnya konsisten: ekspansi akan berhenti dan semesta akan mulai menyusut.
Fase kontraksi ini diperkirakan berlangsung lebih cepat dibanding fase ekspansi. Artinya, begitu ekspansi berhenti, waktu menuju kehancuran akan lebih singkat dibanding waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik maksimum.
Namun demikian, para ilmuwan mengakui bahwa prediksi ini belum mutlak. Nilai-nilai dalam model masih bergantung pada parameter yang belum sepenuhnya pasti.
Data dari DES dan DESI memang mengindikasikan bahwa energi gelap mungkin berubah, tapi masih ada kemungkinan bahwa ia tetap konstan. Jika itu yang terjadi, maka semesta bisa saja mengembang selamanya dan Big Crunch tidak pernah datang.
Meski begitu, model ini menawarkan kerangka baru dalam memahami masa depan kosmos. Ia menunjukkan bahwa hanya dengan sedikit perubahan pada sifat energi gelap, gambaran masa depan semesta bisa berubah total.
Jika skenario ini benar, maka kita kini hidup di pertengahan umur semesta. Sisanya adalah waktu menuju titik akhir yang secara teoritis bisa dihitung.
Skala waktunya memang jauh dari pengalaman manusia, namun temuan ini membuka kemungkinan bahwa alam semesta memiliki umur yang terbatas. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa prediksi tentang akhir segalanya tak lagi hanya milik fiksi ilmiah. (*)
Penelitian ini telah dipublikasikan di platform ilmiah arXiv. Sumber: Earth
KEYWORD :Alam Semesta Big Crunch Kiamat Usia alam semesta