
Ilustrasi sedang stres (Foto: Pexels/Vitaly Gariev)
Jakarta, Jurnas.com - Depresi kini menjadi salah satu krisis kesehatan global yang paling serius. Kondisi ini menguras energi, mengganggu pola tidur, dan menjauhkan penderitanya dari kehidupan sosial.
Dalam kasus ekstrem, depresi juga meningkatkan risiko bunuh diri. Lebih dari 280 juta orang di seluruh dunia hidup dengan gangguan ini, dan angkanya terus meningkat.
Meski sudah tersedia berbagai jenis terapi dan obat, banyak penderita tetap tidak mendapatkan hasil yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa pendekatan medis yang ada saat ini belum menjawab akar persoalan secara menyeluruh.
Sebuah penelitian terbaru dari Korea Selatan memberi arah baru dalam memahami penyebab depresi. Tim ilmuwan dari Institute for Basic Science menemukan bahwa molekul gula di otak memainkan peran penting dalam timbulnya gejala depresi.
Mereka mengamati proses glikosilasi, yaitu penempelan rantai gula ke protein otak. Proses ini krusial untuk menjaga fungsi protein, khususnya di korteks prefrontal, area otak yang mengatur emosi.
Konsumsi Soda Bisa Picu Depresi pada Wanita
Saat stres kronis hadir, proses glikosilasi terganggu. Akibatnya, gejala depresi muncul karena protein otak jadi tidak stabil.
Obat-obatan saat ini umumnya menargetkan serotonin. Namun, pendekatan ini gagal membantu separuh pasien dan kerap menimbulkan efek samping.
Tim peneliti menemukan bahwa stres menurunkan kadar enzim St3gal1 di otak. Enzim ini bertugas menempelkan asam sialat ke rantai gula, menjaga stabilitas protein.
Ketika St3gal1 diturunkan pada tikus sehat, mereka menunjukkan perilaku seperti depresi. Sebaliknya, peningkatan enzim ini pada tikus stres mengurangi gejala.
Penurunan glikosilasi juga berdampak pada protein sinaptik seperti neurexin 2 yang menjaga koneksi antar neuron. Ketidakseimbangan ini merusak sistem pengatur emosi otak.
Temuan ini menjelaskan bagaimana stres bisa memicu depresi melalui jalur kimia di luar neurotransmiter. Ini sekaligus memberi jawaban mengapa banyak pasien tak membaik dengan obat serotonin.
Menurut LEE Boyoung, hasil ini membuka peluang pengembangan terapi dan diagnosis berbasis jalur glikosilasi. Sementara C. Justin LEE menilai dampaknya bisa meluas ke gangguan lain seperti PTSD dan skizofrenia.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Science Advances dan memperluas cakrawala pengobatan gangguan mental. (*)
Sumber: Earth
KEYWORD :Stres Molekul Gula Otak Depresi