Minggu, 05/10/2025 17:17 WIB

Prostitusi Disebut Profesi Tertua di Dunia, Ini Sejarahnya

Secara historis, prostitusi disebut sebagai “profesi tertua di dunia.” Catatan sejarah menunjukkan bahwa praktik ini telah ada sejak ribuan tahun lalu

Ilustrasi - tempat prostitusi (Foto: Unsplash/Maxence Pira)

Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 5 Oktober, dunia memperingati Prostitusi Internasional/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Hari Tanpa Prostitusi Internasional (International Day Without Prostitution), sebuah momentum global yang menyerukan penghentian praktik eksploitasi seksual serta perlindungan martabat manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.

Di balik peringatan ini, tersimpan sejarah panjang tentang fenomena prostitusi yang telah ada sejak peradaban manusia awal, dan hingga kini masih menjadi persoalan sosial yang kompleks di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Secara historis, prostitusi disebut sebagai “profesi tertua di dunia.” Catatan sejarah menunjukkan bahwa praktik ini telah ada sejak ribuan tahun lalu.

Dalam peradaban Mesopotamia Kuno, misalnya, prostitusi bahkan dilegalkan dan dijalankan di kuil-kuil sebagai bagian dari ritual keagamaan yang disebut prostitusi sakral. Para perempuan saat itu dianggap sebagai pelayan dewi kesuburan, dan hubungan seksual dilakukan sebagai simbol penghormatan terhadap para dewa.

Di masa Yunani dan Romawi Kuno, prostitusi juga dikenal luas dan diatur oleh negara. Banyak rumah bordil resmi yang beroperasi, bahkan dikenakan pajak oleh pemerintah.

Namun, seiring perkembangan agama dan nilai moral, terutama setelah munculnya ajaran Kristen dan Islam, prostitusi mulai dipandang sebagai perilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran moralitas.

Pada abad ke-19 hingga ke-20, muncul berbagai gerakan sosial di Eropa dan Amerika untuk menentang prostitusi. Aktivis perempuan mulai menyuarakan bahwa prostitusi bukan sekadar “pekerjaan,” melainkan bentuk eksploitasi dan kekerasan berbasis gender yang sering melibatkan pemaksaan ekonomi maupun psikologis.

Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya peringatan Prostitusi Internasional/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Hari Tanpa Prostitusi Internasional, yang diperingati setiap 5 Oktober sejak awal 2000-an.

Dikutip dari Global Network of Sex Work Projects (NSWP) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), praktik prostitusi modern kini banyak berkaitan dengan perdagangan manusia (human trafficking).

Ribuan perempuan dan anak di seluruh dunia menjadi korban eksploitasi seksual setiap tahun, baik secara langsung di tempat-tempat hiburan malam maupun melalui platform digital.

Data PBB (United Nations) menunjukkan bahwa sekitar 70% korban perdagangan manusia di dunia dieksploitasi secara seksual, dan sebagian besar di antaranya adalah perempuan muda.

Peringatan Prostitusi Internasional/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Hari Tanpa Prostitusi Internasional setiap 5 Oktober bukan sekadar simbol moral, tetapi ajakan untuk membuka mata terhadap realitas sosial yang kerap tersembunyi.

Banyak perempuan yang terjebak dalam dunia prostitusi bukan karena pilihan, melainkan karena kemiskinan, kekerasan, atau manipulasi pihak lain.

Lebih dari sekadar larangan moral, peringatan ini mengingatkan kita bahwa setiap manusia berhak atas hidup yang bermartabat dan bebas dari eksploitasi.

Di balik kisah kelam prostitusi, ada banyak cerita perjuangan perempuan yang berusaha bangkit dan mendapatkan kembali kendali atas hidupnya, sebuah kisah kemanusiaan yang patut kita dengarkan dan dukung.

KEYWORD :

Hari Tanpa Prostitusi Internasional Profesi tertua Prostitusi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :