
Nurlaela Buludawa, seorang ibu rumah tangga asal Popayato Barat, Kabupaten Pohuwatu, Gorontalo yang berhasil mengembangkan usaha pertanian berkat keterlibatannya dalam program READSI (Foto: Istimewa)
Jakarta, Jurnas.com - Pekerjaan rumah tangga seringkali dikaitkan secara otomatis dengan peran istri. Mulai dari menyapu, memasak, hingga mengurus anak—semua dianggap sebagai "tanggung jawab perempuan". Tapi benarkah dalam hukum, budaya, maupun agama, istri wajib mengerjakannya?
Dikutip dari berbagai sumber, termasuk laman BPK RI, dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (3), disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Sayangnya, pasal ini tidak merinci apa saja yang termasuk tugas seorang ibu rumah tangga.
Begitu pun dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ditemukan diksi secara eksplisit yang menyebutkan bahwa istri wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Di sisi lain, pada No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada ayat sebelumnya, undang-undang ini menegaskan bahwa suami dan istri memiliki kedudukan seimbang dalam rumah tangga. Artinya, tidak ada pembagian peran yang sepihak atau kaku secara hukum.
Meski begitu, banyak pihak masih menafsirkan posisi istri sebagai ibu rumah tangga secara konservatif. Padahal, hukum tidak menyebutkan bahwa istri wajib mencuci, memasak, atau membersihkan rumah.
Bahkan, kini banyak kalangan aktivis perempuan menilai mengenai istri wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah diskriminatif atau bia gender. Karena menurut mereka dalam praktiknya, tidak sedikit keluarga yang ‘kepala keluarganya’ justru perempuan.
Dalam perspektif agama Islam, pandangan para ulama pun tidak tunggal dalam soal ini. Beberapa menyebut pekerjaan rumah sebagai bagian dari tanggung jawab moral, sementara yang lain menegaskan bahwa itu bukan kewajiban mutlak.
Hadis dari Aisyah RA menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW turut membantu pekerjaan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa kerja domestik bukan hanya beban istri, melainkan bentuk gotong royong dalam rumah tangga.
Konsep kerja sama ini semakin relevan dalam kehidupan modern saat pasangan sama-sama bekerja. Banyak keluarga muda kini membagi tugas rumah tangga secara fleksibel berdasarkan waktu, tenaga, dan kesepakatan.
Survei nasional juga menunjukkan perubahan pandangan dalam hal ini. Sebagian besar pasangan muda lebih memilih membagi beban rumah tangga daripada membebankannya pada satu pihak.
Dengan perubahan pola pikir tersebut, pembagian tugas rumah kini lebih bersifat negosiasi daripada kewajiban tradisional. Yang penting bukan siapa yang melakukan, tapi bagaimana tugas-tugas itu bisa diselesaikan secara adil.
Karena itu, menyatakan bahwa istri wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangga bukanlah kesimpulan yang akurat. Tidak ada dasar hukum atau dalil agama yang menetapkan kewajiban mutlak tersebut.
Yang ada adalah kebutuhan untuk membangun rumah tangga yang saling mendukung. Pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama, bukan tugas kodrat salah satu pihak. (*)
KEYWORD :Pekerjaan Rumah Tangga Peran Istri Hukum Keluarga