
Ilustrasi berusia 100 tahun (Foto: Earth)
Jakarta, Jurnas.com - Lonjakan harapan hidup yang pernah mengubah wajah dunia pada abad ke-20 kini memasuki masa stagnasi. Sebuah studi terbaru yang menganalisis data dari 23 negara maju menunjukkan bahwa meskipun manusia masih hidup lebih lama dari generasi sebelumnya, kecepatan peningkatannya jauh melambat. Singkatnya, usia 100 tahun makin sulit dicapai secara rata-rata, bahkan di negara dengan sistem kesehatan terbaik.
Dari Lonjakan Besar ke Pertumbuhan Lambat
Pada awal abad ke-20, setiap generasi baru di negara-negara maju bisa berharap hidup 5–6 bulan lebih lama dibanding generasi sebelumnya. Penyebabnya jelas: air bersih, sanitasi, vaksin, antibiotik, gizi yang lebih baik, dan turunnya kematian bayi. Seorang bayi yang lahir sekitar tahun 1900 bisa berharap hidup sampai usia 62 tahun, tapi angka ini melonjak mendekati 80 tahun bagi mereka yang lahir menjelang Perang Dunia II.
Namun, untuk mereka yang lahir setelah tahun 1939, grafiknya mulai datar. Tambahan usia hidup per generasi hanya sekitar 2,5–3,5 bulan. Bukan berarti tidak ada kemajuan, tapi buah kemajuan yang paling mudah – seperti menurunkan kematian anak – sudah dipetik. Sisanya adalah pekerjaan jangka panjang: melawan penyakit kronis seperti jantung, kanker, diabetes, dan demensia.
Tidak Ada Generasi Pasca-1939 yang Rata-Rata Mencapai 100 Tahun
Poin utama dari penelitian ini cukup tegas: tidak ada generasi yang lahir setelah 1939 di negara-negara maju yang diperkirakan akan memiliki rata-rata usia hidup mencapai 100 tahun. Bukan berarti tidak akan ada centenarian (manusia berusia 100 tahun atau lebih). Mereka tetap akan ada – bahkan jumlahnya terus bertambah – tapi rata-rata seluruh generasi tak akan menembus usia tiga digit.
Bahkan generasi 1980-an, yang tumbuh dengan teknologi kedokteran modern, perawatan trauma, dan mobil yang lebih aman, tidak cukup untuk mendorong angka tersebut ke atas garis 100 tahun.
Implikasi Serius untuk Masa Depan
Realitas ini membawa dampak besar terhadap sistem pensiun, usia pensiun, dan perencanaan kesehatan jangka panjang. Banyak kebijakan masih berasumsi bahwa peningkatan usia hidup akan terus meningkat tajam seperti di era kakek-nenek kita. Namun, jika kenyataannya pertumbuhannya lebih lambat, maka kalkulasi masa depan perlu diperbarui.
Bagi individu, ini adalah sinyal untuk lebih realistis dalam perencanaan keuangan, pensiun, dan kesehatan jangka panjang. Kita tidak bisa lagi mengandalkan lompatan besar dalam harapan hidup, melainkan pada kemajuan bertahap yang dibangun melalui kebiasaan dan intervensi kesehatan masyarakat yang konsisten.
Solusi Bukan Lagi Revolusi, Tapi Evolusi
Dulu, kesehatan publik bisa meraih hasil luar biasa lewat satu-dua intervensi besar. Sekarang, tantangannya lebih kompleks. Fokusnya kini adalah mengurangi tekanan darah, mengendalikan gula darah, menurunkan angka merokok dan obesitas, serta memperluas akses terhadap layanan dasar seperti vaksinasi, skrining penyakit, dan perawatan primer.
Yang paling penting, mempersempit kesenjangan antara yang kaya dan miskin menjadi cara tercepat untuk meningkatkan rata-rata harapan hidup di suatu negara. Di era sekarang, kesehatan tak lagi hanya soal inovasi medis, tapi soal keadilan sosial.
Masih Ada Harapan, Tapi Bukan Lagi Lompatan
Prediksi harapan hidup bukan ramalan mutlak. Seperti yang kita lihat pada pandemi COVID-19, tren bisa berubah cepat. Demikian pula dengan terobosan medis masa depan – misalnya terapi kanker atau demensia yang lebih efektif – bisa mengubah peta.
Namun jika tak ada revolusi besar dalam medis atau kebijakan, maka masa depan harapan hidup kita akan dibentuk oleh langkah kecil yang konsisten, bukan oleh loncatan besar.
Studi ini diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Sumber: Earth)
KEYWORD :Usia harapan hidup umur manusia usia 100 tahun