Selasa, 30/09/2025 14:12 WIB

Sombong kepada Orang Sombong Itu Sedekah, Benarkah Demikian?

Sebab umumnya, kesombongan dikenal sebagai sifat yang buruk dan harus dijauhi. Namun, mengapa justru ada narasi yang menyebut kesombongan bisa menjadi bentuk kebaikan?

Ilustrasi sombong kepada orang yang sombong (Foto: Pexel/Rdene Stock Project)

Jakarta, Jurnas.com - Pernah Anda mendengar ungkapan “sombong kepada orang sombong itu sedekah”? Kalimat yang terdengar kontradiktif ini menimbulkan perdebatan: apakah ini bentuk kebijaksanaan atau justru kesombongan terselubung?

Sebab umumnya, kesombongan dikenal sebagai sifat yang buruk dan harus dijauhi. Namun, mengapa justru ada narasi yang menyebut kesombongan bisa menjadi bentuk kebaikan?

Pertanyaan itu membuka ruang diskusi lebih dalam soal makna sebenarnya dari ungkapan tersebut. Apakah kalimat ini benar berasal dari ajaran Islam, atau hanya pepatah populer yang disalahpahami?

Faktanya, ungkapan itu tidak tercatat dalam kitab-kitab hadis Nabi Muhammad SAW. Para ulama sendiri sepakat bahwa itu bukan sabda Rasul, melainkan pernyataan yang muncul dalam literatur keislaman klasik.

Dikutip dari laman Rumah Zakat, salah satunya disebut dalam kitab Bariqah Mahmudiyah, yang menjelaskan bahwa sikap “sombong” kepada orang yang angkuh bisa dianggap sebagai bentuk sedekah. Bukan dalam arti ibadah secara literal, tetapi sebagai tindakan sosial untuk menyadarkan.

Dengan demikian, makna “sombong” di sini tidak dimaknai sebagai kesombongan murni yang dilandasi ego. Melainkan lebih sebagai sikap tegas dan berwibawa yang bertujuan untuk meruntuhkan arogansi lawan bicara.

Makna ini juga dikuatkan oleh beberapa pandangan ulama terdahulu. Misalnya, Imam Syafi’i pernah mengatakan bahwa kesombongan kepada orang sombong dapat menjadi bentuk pelajaran yang efektif.

Sementara itu, Imam Az-Zuhri mengaitkan sikap tegas terhadap pecinta dunia sebagai bagian dari menjaga kemuliaan agama. Adapun Imam Yahya bin Mu’adz menyebut bahwa tidak tunduk pada kesombongan orang berharta bisa dianggap sebagai bentuk kerendahan hati yang tinggi nilainya.

Walau demikian, semua pendapat itu menekankan bahwa niat dan cara tetap menjadi kunci utama. Tanpa niat yang lurus, sikap tegas bisa berubah menjadi kesombongan yang sejati dan merusak hati.

Dalam Islam, kesombongan sejati sangat dikecam tanpa pandang bulu. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.” (HR. Muslim)

Hadis ini mempertegas bahwa Islam sangat ketat terhadap sikap takabur, apapun bentuk dan alasannya. Karena itu, sekalipun berniat “melawan” kesombongan, cara yang digunakan tetap tidak boleh keluar dari batas adab.

Dari sudut pandang psikologi, membalas arogansi dengan arogansi justru dapat menciptakan siklus konflik yang tidak berkesudahan. Namun, di sisi lain, menunjukkan ketegasan terhadap perilaku semacam itu terkadang memang dibutuhkan agar harga diri tetap terjaga.

Beberapa psikolog sosial menyebut sikap ini sebagai bentuk assertive confrontation—bukan arogansi, melainkan ketegasan yang tidak menyerang. Artinya, seseorang tidak menunjukkan kesombongan, tetapi juga tidak tunduk pada perilaku merendahkan dari orang lain.

Dalam praktiknya, cara menghadapi orang sombong memang tidak tunggal. Ada kalanya tegas diperlukan, namun tidak jarang kerendahan hati justru lebih menenangkan situasi.

Di sisi lain, sikap sabar dan tidak bereaksi berlebihan sering kali lebih efektif meredam ketegangan. Rasulullah SAW sendiri kerap menunjukkan keteladanan semacam ini saat menghadapi orang-orang yang angkuh di masa beliau.

Dengan kata lain, menghadapi kesombongan harus dengan kebijaksanaan, bukan reaksi emosional. Kadang diam adalah kekuatan, kadang ketegasan adalah perlindungan, dan kadang tawadhu adalah kemenangan yang paling elegan.

Maka dari itu, ungkapan “sombong kepada orang sombong adalah sedekah” tidak bisa diambil secara mentah. Ia bukan ajaran syariat, melainkan sindiran sosial yang mengandung makna strategis.

Kesimpulannya, tidak ada pembenaran atas kesombongan dalam bentuk apapun. Namun, sikap tegas yang terukur, niat yang bersih, dan respons yang proporsional tetap diperlukan dalam menjaga marwah diri. (*)

KEYWORD :

sombong kepada orang sombong sedekah cara menghadapi orang sombong




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :