
Ilustrasi sedang dalam perjalanan (Foto: Marc Pagliuca)
Jakarta, Jurnas.com - Shalat Jumat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki yang mukim dan baligh. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 9 menegaskan pentingnya berjamaah pada hari Jumat sebagai momen memperkuat keimanan dan persatuan umat.
Shalat Jumat tidak hanya ibadah ritual, tetapi juga sarana dakwah yang menguatkan ukhuwah Islamiyah. Oleh karena itu, khutbah Jumat menjadi bagian tak terpisahkan yang menyampaikan pesan-pesan moral dan keagamaan.
Namun, ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi agar shalat Jumat wajib dilaksanakan. Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, menurut kitab Matnul Ghayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’, wajib Jumat bagi yang Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, sehat, dan musta’thin—artinya tidak sedang bepergian atau musafir.
Dikutip dari laman Terasmuslim, hadis riwayat Imam Muslim menjelaskan bahwa Nabi SAW pernah melakukan safar pada hari Jumat, dan beliau tidak menunaikan shalat Jumat, tetapi mengerjakan shalat Zuhur.
Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Daruquthny menguatkan hal ini dengan menyebutkan bahwa shalat Jumat tidak wajib bagi perempuan, musafir, hamba sahaya, dan orang sakit. Ini memberikan ruang keringanan bagi musafir yang sering mengalami kesulitan saat perjalanan.
Tidak semua perjalanan membuat seseorang berstatus musafir. Sebagian ulama menetapkan jarak perjalanan minimal sekitar 90 km agar seseorang dianggap musafir dan berhak atas rukhshah shalat, seperti menggantinya dengan shalat Dzuhur, qashar dan atau meninggalkan Jumat.
Selain jarak, niat dan tujuan perjalanan juga diperhitungkan. Perjalanan harus mubah, bukan untuk maksiat, dan niat bermukim atau singgah juga menentukan kewajiban shalat Jumat. Bila musafir berniat menetap minimal empat hari, kewajiban Jumat kembali berlaku.
Inilah Keutamaan Sedekah di Hari Jumat
Syariat juga memberikan keringanan lain seperti menjamak shalat—menggabungkan dua waktu shalat fardhu. Jamak terbagi menjadi jamak taqdim (menggabung dua shalat fardu pada waktu shalat yang pertama) dan jamak ta’khir (menggabung dua shalat fardu pada waktu shalat yang terakhir atau kedua).
Dikutip dari laman Kemenag Malang, mayoritas ulama sepakat shalat Jumat memiliki kedudukan sama dengan shalat Dzuhur dalam hal hukum jamak. Sehingga, shalat Jumat bisa dijamak dengan Ashar secara jamak taqdim. Namun, jamak ta’khir tidak diperbolehkan karena Jumat wajib dilaksanakan pada waktunya, dari mulai masuk waktu Dzuhur sampai Ashar.
Masih menurut sumber yang sama, disebutkan bahwa dalam praktiknya, jika musafir berangkat pada hari Jumat sebelum fajar, ia boleh meninggalkan Jumat dan menggantinya dengan shalat Dzuhur. Tapi jika berangkat setelah fajar Jumat, ia wajib melaksanakan shalat Jumat di tengah perjalanan.
Untuk mereka yang sedang dalam perjalanan pada hari Jumat, disarankan mengatur jadwal agar bisa singgah dan melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Misalnya, keluar dari jalan tol di rest area yang menyediakan fasilitas Jumat.
Dengan berbagai ketentuan ini, Islam menunjukkan kelembutan dan kemudahan dalam beribadah sesuai kondisi umatnya. Musafir diberi keringanan, tetapi juga diingatkan untuk tetap menjaga kewajiban jika memungkinkan. (*)
Walllahu`alam
KEYWORD :Shalat jumat dzuhur musafir wajib