
Wamendikdasmen Fajar Rizal Ul Haq (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, membeberkan sejumlah tantangan besar yang dihadapi pendidikan karakter di era transformasi teknologi dan media sosial.
Hal ini disampaikan Wamendikdasmen dalam kunjungan kerja dan kuliah umum di Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Sumatra Selatan pada Rabu (24/9).
Wamen Fajar mengatakan bahwa anak-anak saat ini sudah `diasuh` oleh media sosial sejak dini. Dampaknya, terjadi pertumbuhan sosial-emosional yang melambat, komunikasi yang melemah.
"Bahkan muncul fenomena brain rot ketika anak-anak malas berpikir karena menyerahkan seluruh proses kognitif kepada mesin," ujar Wamen Fajar.
Dia menjelaskan bahwa cara kerja algoritma media sosial sering kali hanya mengedepankan keterlibatan (engagement) tanpa mempertimbangkan nilai kebenaran. Hal tersebut membuat konten singkat yang emosional lebih cepat populer dibandingkan konten mendalam yang bermakna.
"Tantangan kita adalah bagaimana membuat konten yang tidak hanya menarik, tetapi juga mencerahkan, membangun karakter, serta menanamkan nilai moral," kata dia.
Wamen Fajar mengingatkan bahwa perkembangan teknologi digital bahkan mulai diadopsi dalam praktik-praktik keagamaan di berbagai belahan dunia.
Di Eropa, sejumlah gereja telah bereksperimen menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam pelayanan doa dan liturgi. Fenomena ini menjadi peringatan bahwa agama pun tidak bisa lepas dari dinamika teknologi.
Namun, dia menegaskan pentingnya menjaga esensi nilai spiritual dan kedalaman ajaran agama di tengah digitalisasi.
"Pencerahan yang dibawa agama tidak boleh kalah oleh sekadar viralitas. Konten keagamaan di media sosial harus membangun persatuan, bukan memecah belah," kata Wamen Fajar.
Lebih lanjut, Wamen Fajar menekankan pentingnya pembelajaran mendalam (deep learning) yang menjadi salah satu strategi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) saat ini.
Melalui pendekatan tersebut, peserta didik diharapkan mampu berpikir kritis, memiliki rasa ingin tahu, dan memahami makna dari setiap pengetahuan yang dipelajari.
"Pendidikan karakter pada akhirnya adalah membentuk anak-anak menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak, beradab, dan mampu mengendalikan diri di tengah derasnya arus digital," ujar Wamen Fajar.
Sebagai langkah konkret, Kemdikdasmen mulai memperkenalkan mata pelajaran pilihan Kecerdasan Buatan sejak kelas V SD. Program ini bertujuan menumbuhkan literasi digital, etika berteknologi, serta kesadaran kritis terhadap manfaat dan risiko teknologi.
"Kami ingin anak-anak memahami bahwa teknologi bukan sekadar hiburan, tetapi juga memiliki dampak besar terhadap pembentukan karakter. Karena itu, mereka perlu dibekali dengan apa yang kita sebut sebagai keadaban digital," dia menambahkan.
Di akhir, Wamen Fajar menggarisbawahi peran strategis dai digital dalam memperkuat pendidikan karakter. Menurutnya, dai digital tidak hanya bertugas menyampaikan pesan agama, tetapi juga membimbing generasi muda dengan bahasa yang sesuai zaman.
"Jika kita tidak hadir di ruang digital dengan konten yang benar, anak-anak akan mencari jawaban sendiri di mesin pencari atau chatbot. Dai digital adalah garda depan yang harus memastikan pesan agama dan nilai karakter tersampaikan dengan tepat," ujar dia.
KEYWORD :Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq Media Sosial