
Petani sedang menyiram sayuran di lahan pertanian (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional sebagai bentuk penghormatan atas peran sentral petani dalam kehidupan bangsa. Namun, tanggal ini bukan sekadar seremonial, melainkan memiliki akar sejarah yang kuat dalam perjuangan agraria.
Penetapan Hari Tani berasal dari Keputusan Presiden RI Nomor 169 Tahun 1963 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Momentum ini bertepatan dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA 1960 yang disahkan pada 24 September tiga tahun sebelumnya.
Lahirnya UUPA menjadi tonggak penting dalam sejarah pertanahan Indonesia karena menggantikan sistem agraria kolonial warisan Belanda. Saat itu, penguasaan tanah masih sangat timpang dan tidak berpihak pada petani serta masyarakat adat.
Melalui UUPA, negara berusaha menjalankan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Dengan dasar itu, UUPA dirancang untuk memberikan kepastian hukum atas tanah dan mewujudkan keadilan agraria.
Dikutip dari laman PSEKP Kementan, tujuan utama dari kebijakan ini adalah membentuk sistem hukum agraria nasional yang terpadu dan sederhana. Selain itu, UUPA juga menjadi dasar untuk melindungi hak-hak petani dan mendorong pemerataan penguasaan tanah.
Semangat pembebasan dari penindasan agraria menjadi inti dari lahirnya Hari Tani Nasional. Pemerintah saat itu melihat bahwa petani perlu dilindungi dan diberi akses atas tanah sebagai sumber hidup mereka.
Namun hingga hari ini, cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud. Konflik agraria masih sering terjadi, dan banyak petani belum memiliki legalitas atas tanah yang mereka garap selama puluhan tahun.
Alih fungsi lahan pertanian ke industri dan properti terus menggerus ruang hidup petani. Di saat yang sama, peran mereka sebagai penyedia pangan justru semakin vital di tengah ancaman krisis iklim dan ketahanan pangan global.
Karena itu, Hari Tani Nasional harus dimaknai lebih dari sekadar peringatan historis. Ia adalah momen untuk menagih janji keadilan agraria sekaligus memperjuangkan kedaulatan petani di negeri sendiri.
Petani bukan hanya tulang punggung sektor pangan, tetapi juga penjaga stabilitas ekonomi desa dan budaya agraris Indonesia. Memberdayakan mereka berarti membangun masa depan yang lebih berdaulat dan berkelanjutan.
Peringatan ini juga menjadi pengingat bahwa tanah tidak boleh hanya dilihat sebagai komoditas, melainkan sebagai hak hidup rakyat. Semangat UUPA 1960 seharusnya terus dihidupkan, bukan dibiarkan menjadi arsip sejarah.
Hari Tani adalah panggilan untuk merealisasikan reforma agraria yang adil dan berpihak pada rakyat kecil. Dengan begitu, keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa bisa benar-benar dirasakan oleh mereka yang selama ini terpinggirkan. (*)
KEYWORD :Hari Tani Nasional 24 September Sejarah Agraria Petani Indonesia