Rabu, 24/09/2025 19:17 WIB

Reformasi Polri, I Wayan: Jalan Panjang Mengembalikan Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik terhadap Polri masih fluktuatif. Survei Indikator Politik Indonesia pada Agustus 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik berada di 62,4%.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H. Foto: Ist

JAKARTA, Jurnas.com - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah institusi yang memiliki peran vital dalam menjaga keamanan, menegakkan hukum, sekaligus melindungi dan melayani masyarakat. Dalam perjalanannya, Polri telah menorehkan berbagai capaian penting yang layak diapresiasi.

“Namun, di balik prestasi tersebut, terdapat pula sejumlah persoalan yang masih membayangi dan menuntut perbaikan mendasar. Momentum pembentukan Tim Reformasi Polri menjadi ujian besar: apakah langkah ini akan menghasilkan perubahan substantif, atau sekadar simbolik belaka,” kata Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H. di Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Perlu diakui, kata Wayan, Polri tidak pernah berhenti melakukan pembenahan. Reformasi birokrasi telah berjalan melalui perbaikan sistem rekrutmen, pelatihan, hingga pengembangan karier berbasis kompetensi. Polri juga memperkuat program pembinaan disiplin internal, sehingga proses regenerasi berjalan lebih sehat.

Di era digital, Polri semakin adaptif. Inovasi layanan publik berbasis teknologi, seperti SIM Online dan SPKT Online, semakin memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan kepolisian. Pemanfaatan teknologi forensik dan big data juga meningkatkan kualitas investigasi dan efektivitas penegakan hukum.

Selain itu, pelayanan publik di kantor-kantor polisi kini lebih terintegrasi, dengan unit pengaduan yang lebih responsif. Upaya memperketat SOP dalam penyidikan pun merupakan langkah maju untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Semua ini menunjukkan bahwa Polri berusaha hadir lebih profesional, transparan, dan modern.

Masalah yang Masih Mengemuka

Meski berbagai inovasi telah dilakukan, kepercayaan publik terhadap Polri masih fluktuatif. Survei Indikator Politik Indonesia pada Agustus 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik berada di 62,4%. Angka ini sebenarnya masih mayoritas, namun menurun dibanding periode sebelumnya yang sempat menyentuh lebih dari 70%.

“Penyebab penurunan ini cukup kompleks. Kasus penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran etik oleh oknum masih terjadi. Tragedi besar seperti kasus Sambo, hingga peristiwa kekerasan oleh aparat di daerah, menjadi catatan hitam yang sulit dihapus,” kata Wayan.

Selain itu, publik sering kali mengeluhkan lambannya penanganan laporan. Hingga ada tanggapan bahwa petugas Pemadam Kebakaran lebih solutif daripada polisi. Selain itu, fenomena “no viral no justice” mencuat: kasus baru ditangani serius ketika viral di media sosial. Hal ini menimbulkan kesan bahwa Polri belum sepenuhnya hadir melayani secara adil tanpa diskriminasi.

Isu penggunaan kekerasan berlebihan dalam pengamanan massa juga masih membayangi. Kultur organisasi yang tertutup, hierarkis, dan kadang resisten terhadap pengawasan semakin menambah tantangan reformasi di tubuh Polri.

Tim Reformasi Polri: Harapan dan Tantangan

Menjawab dorongan publik, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 17 September 2025 membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri melalui Surat Perintah Nomor Sprin/2749/IX/2025. Tim beranggotakan 52 perwira, dengan Kapolri sebagai pelindung, Wakapolri sebagai penasihat, dan Komjen Chryshnanda Dwilaksana sebagai ketua tim. Fokus utama tim ini adalah pembenahan organisasi, operasional, pelayanan publik, dan pengawasan.

“Namun, pembentukan tim ini tidak bebas dari kritik. Komposisi yang didominasi oleh internal Polri menimbulkan kekhawatiran reformasi hanya berjalan dalam lingkaran tertutup. Apalagi, pemerintah juga menyiapkan Komite Reformasi Polri di tingkat Presiden dengan menunjuk Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Kamtibmas dan Reformasi Polri. Hal ini tentu dapat berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Tanpa kejelasan koordinasi, agenda reformasi bisa tersandera tarik-menarik kepentingan,” jelas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Tantangan lainnya adalah ketiadaan indikator kinerja yang jelas. Bagaimana publik bisa menilai keberhasilan reformasi jika tidak ada ukuran terukur, seperti kecepatan penanganan laporan, jumlah kasus etik yang ditindak, atau tingkat kepuasan masyarakat?

Di sisi lain, resistensi internal juga menjadi hambatan nyata. Perubahan yang mengganggu kenyamanan status quo kerap ditolak secara halus maupun terang-terangan. Sementara itu, dinamika politik sering menekan Polri untuk bertindak dalam kerangka kepentingan tertentu, sehingga agenda reformasi rentan dipolitisasi.

Jalan Reformasi ke Depan

Menurut Wayan, meski penuh tantangan, reformasi Polri tetap merupakan keniscayaan. Ada beberapa langkah penting yang bisa menjadi panduan. Jangka Pendek (0–6 bulan): Menegaskan mandat tim reformasi agar tidak tumpang tindih dengan komite di tingkat Presiden. Publikasi agenda kerja dan konsultasi dengan masyarakat sipil juga mutlak dilakukan.

Jangka Menengah (6–12 bulan): Melakukan audit independen dengan melibatkan Kompolnas, akademisi, serta lembaga pengawas eksternal. Indikator kinerja harus ditetapkan dan dilaporkan secara berkala.

Jangka Panjang (1–3 tahun): Melakukan transformasi kultural yang berkelanjutan melalui pendidikan etika, HAM, dan pelayanan publik di semua level. Jika diperlukan, perubahan struktural, termasuk pemisahan fungsi tertentu, harus berani diambil. Selain itu, penguatan sistem whistleblowing, transparansi informasi publik, serta digitalisasi menyeluruh akan menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan rakyat.

Reformasi Polri adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen kuat, keterlibatan publik, dan keberanian menghadapi resistensi internal. Pembentukan Tim Reformasi Polri bisa menjadi momentum penting untuk memperbaiki citra dan meningkatkan profesionalisme. Namun, tanpa transparansi, pengawasan independen, serta tolok ukur yang jelas, agenda ini berisiko hanya berhenti sebagai slogan.

“Masyarakat menaruh harapan besar agar Polri mampu menjadi institusi modern yang profesional, humanis, dan akuntabel. Reformasi ini bukan sekadar kebutuhan internal kepolisian, melainkan kebutuhan bangsa untuk memastikan tegaknya negara hukum yang berkeadilan,” ujarnya.

KEYWORD :

Reformasi Polri Kepercayaan Publik I Wayan Sudirta




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :