Rabu, 24/09/2025 17:18 WIB

Dipakai Prabowo di Sidang PBB, Ini Sejarah Peci Hitam

Belakangan ini, peci hitam kembali menjadi sorotan publik setelah dikenakan Presiden RI Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80 di New York pada 23 September 2025.

Presiden RI Prabowo Subianto. (Foto: Net)

Jakarta, Jurnas.com - Peci hitam, penutup kepala sederhana yang sering dikenakan dalam acara keagamaan, kenegaraan, hingga upacara kemerdekaan di Indonesia, ternyata menyimpan sejarah panjang yang melintasi peradaban, agama, dan politik. Di Indonesia, peci nampaknya telah menjelma dari simbol religius menjadi identitas nasional yang tak lekang oleh waktu.

Belakangan ini, peci hitam kembali menjadi sorotan publik setelah dikenakan Presiden RI Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80 di New York pada 23 September 2025. Ia mengenakan peci hitam sejak tiba di arena sidang, didampingi para menteri yang juga turut memakai penutup kepala yang sama.

Penampilan ini tidak hanya mencuri perhatian audiens internasional, tetapi juga menuai respons luas dari publik Indonesia. Banyak yang menyebutnya sebagai bentuk keberlanjutan “diplomasi peci hitam” yang dulu digaungkan oleh Sukarno.

Dikutip dari berbagai sumber, Sukarno pertama kali memperkenalkan peci sebagai lambang kebangsaan dalam rapat Jong Java pada tahun 1921 di Surabaya. Ia memakainya sebagai simbol kepribadian Indonesia yang berdaulat dan bebas dari pengaruh budaya kolonial.

Peci yang dikenakan Sukarno bukan hanya pernyataan mode, tetapi sebuah deklarasi identitas politik. Ia berhasil menjadikan peci sebagai atribut nasional yang dikenakan bersama jas Eropa dalam forum-forum internasional.

Kini, lebih dari satu abad kemudian, gestur yang sama kembali dilakukan oleh seorang presiden Indonesia di panggung diplomasi dunia. Prabowo dan jajarannya menampilkan simbol kebangsaan itu di hadapan Majelis Umum PBB, seolah menggemakan kembali pesan lama dalam konteks baru.

Namun sejarah peci tidak bermula dari Sukarno. Jauh sebelumnya, peci telah masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan dari Timur Tengah yang membawa ajaran Islam.

Para pedagang Arab awalnya mengenakan sorban sebagai penutup kepala, namun masyarakat setempat mulai mengadaptasi bentuk yang lebih praktis dan sederhana. Dari sanalah lahir bentuk peci yang kemudian menjadi lazim di Indonesia, Malaysia, dan Brunei.

Penutup kepala sejenis juga dapat ditemukan di banyak budaya lain. Fez di Turki, tarboosh di Mesir, dan rumi cap di India adalah contoh bagaimana peci memiliki akar universal yang kemudian dibentuk oleh konteks lokal masing-masing wilayah.

Di Jawa, peci mulai dikenal pada abad ke-15 melalui lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Giri. Raja Ternate Zainal Abidin bahkan membawa peci sebagai oleh-oleh spiritual saat kembali dari Jawa ke Maluku.

Peci pada masa itu begitu bernilai hingga bisa ditukar dengan cengkih dan rempah-rempah. Ini menunjukkan bahwa peci bukan sekadar simbol keagamaan, tetapi juga tanda status sosial dan budaya.

Saat kolonialisme Belanda masuk ke Jawa, upaya mengganti pakaian tradisional dengan gaya Barat semakin kuat. Namun peci dan blangkon tetap bertahan sebagai identitas lokal yang tidak mudah tergeser.

Di kalangan bangsawan Jawa, peci bahkan menjadi bentuk resistensi terhadap dominasi budaya kolonial. Sejarawan Denys Lombard mencatat bahwa peci tetap dikenakan sebagai lambang harga diri dan kesinambungan tradisi.

Transformasi peci dari simbol religius menjadi lambang kenegaraan dimulai dari keberanian Sukarno. Ia bukan tokoh pertama yang mengenakannya, namun ia yang pertama mengartikulasikan peci sebagai simbol politik kebangsaan.

Dalam berbagai peristiwa penting, dari pembacaan proklamasi hingga pidato kenegaraan, peci hitam selalu berada di kepala Sukarno. Ia menempatkan peci di titik tertinggi dari konstruksi identitas Indonesia merdeka.

Peci pun menjelma pakaian nasional yang hadir di pelantikan presiden, sidang DPR, dan berbagai acara kenegaraan. Ia menjadi bagian dari narasi kolektif bangsa, dikenakan oleh rakyat dan pemimpin dengan makna yang sama: kebanggaan.

Dalam kehidupan beragama, peci juga tetap memegang peranan penting. Ia digunakan dalam salat sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad SAW dan dianggap sebagai simbol kesopanan serta ketundukan spiritual.

Kini peci hadir dalam berbagai bentuk dan bahan. Ada peci putih khas jemaah haji, peci rotan dari daerah pedesaan, hingga peci beludru hitam yang kini menjadi bagian dari protokol resmi negara.

Perjalanan peci adalah cermin dari proses panjang akulturasi dan identitas yang terus dibentuk ulang oleh zaman. Ia lahir dari interaksi antarbangsa, berkembang bersama agama, dan akhirnya ditanamkan dalam jiwa kebangsaan. (*)

 

KEYWORD :

Peci Hitam Prabowo Subianto Sidang PBB Sejarah Diplomasi peci hitam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :