
Penyerangan Masyarakat Adat Sihaporas di Buttu Pangaturan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Di sebuah dataran berhutan dekat Danau Toba Sumatera Utara, hidup sebuah komunitas adat yang cukup setia menjaga warisan spiritual dan tanah leluhur mereka. Masyarakat Adat Sihaporas namanya. Mereka akan terus menjaga kehidupan yang telah diwariskan turun-temurun, meski arus luar mengusik kedamaian ladang dan kampung mereka.
Baru-baru ini, tepatnya Senin pagi, 22 September 2025, suasana mencekam menimpa mereka, masyarakat adat yang tergabung dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) di Posko Buntu Pangaturan, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Sekitar ratusan pekerja hingga security atau pengamana PT Toba Pulp Lestari (TPL) diduga menyerbu lokasi berladang masyarakat adat di sekitar wilayah yang dianggap sebagai bagian dari tanah adat mereka.
Berseragam hitam-hitam dan dilengkapi parang bengkok, alat setrum, tameng rotan, dan kayu, para pekerja dilaporkan melakukan kekerasan fisik terhadap warga, termasuk perempuan dan orang tua. Salah satu korban, DL (34), mengalami luka serius di bagian wajah. Sejumlah pria, termasuk SA (63), PS (55), dan ES (44) juga menjadi korban.
Diketahui, tanah yang kini dipersoalkan oleh PT TPL itu diyakini sebagai wilayah yang telah dihuni secara turun-temurun oleh masyarakat Sihaporas. Mereka tidak datang sebagai penggarap, melainkan pewaris sah tanah adat, bahkan tercatat dalam Peta Enclave Belanda tahun 1916, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Sudah 11 generasi mereka tinggal di wilayah ini, bermukim di kaki Dolok Mauli dan Sipolha. Bukan sekadar tempat tinggal, tanah ini bagi mereka adalah ruang sakral tempat tujuh ritual utama diwariskan dan dilestarikan. Di tengah arus modernisasi dan konflik lahan yang kian menguat, mereka akan tetap teguh menjalankan ritual adat sebagai bentuk keterhubungan dengan alam, leluhur, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuh Ritual Masyarakat Adat Sihaporas
Bagi masyarakat Sihaporas, hidup bukan sekadar rutinitas fisik. Ada dimensi spiritual dan kultural yang senantiasa dirawat melalui tujuh ritual utama berikut:
1. Patarias Debata Mulajadi Nabolon
Pesta adat terbesar yang digelar setiap empat tahun sekali selama tiga hari dua malam, diiringi musik gondang. Tujuannya adalah memuji dan memuliakan Sang Pencipta sebagai sumber kehidupan.
2. Raga-raga Na Bolak Parsilaonan
Ritual ini dalah bentuk penghormatan dan doa kepada leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, yang dianggap membuka huta (kampung) pertama kali pada awal 1800-an. Ritual ini diiringi musik tradisional gondang, dan juga digelar setiap empat tahun sekali.
3. Mombang Boru Sipitu Suddut
Ritual sehari penuh tanpa musik gondang yang ditujukan kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja, simbol kekuatan dan kebijaksanaan dalam tradisi Batak.
4. Manganjab
Ritual doa ini dilakukan untuk memohon kesuburan dan keberhasilan dalam usaha bertani, sekaligus memohon agar dijauhkan dari segala macam hama dan penyakit pada tanaman. Ritual ini diselenggarakan di ladang (perhumaan) sekali setiap tahun.
5. Ulaon Habonaran i Partukkoan
Ritual doa melalui leluhur atau habonaran dan Raja Sisingamangaraja ini digelar dengan tujuan untuk menjauhkan kampung dari segala macam mara bahaya dan penyakit.
6. Pangulu Balang Parorot
Ritual ini dilakukan untuk berdoa kepada Sang Pencipta Alam melalui penjaga kampung dan hadatuaon supaya penduduk kampung diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala bala.
7. Manjuluk
Ritual pembuka musim tanam. Dilakukan secara sederhana di ladang atau pondok sebelum benih ditanam ke tanah.
Ketujuh ritual adat tersebut merupakan tradisi warisan yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Sihaporas. Tetua adat Mangitua Ambarita mengatakan bahwa tradisi leluhur adalah identitas yang akan diwariskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Oleh karena itu Masyarakat Adat Sihaporas tetap melaksanakan ritual adat sesuai dengan waktu yang ditentukan setiap tahunnya.
Masyarakat Adat Sihaporas kini berdiri di persimpangan: di satu sisi berusaha merawat tradisi dan ritual leluhur; di sisi lain harus menghadapi ketegangan dengan korporasi besar dan ketiadaan pengakuan hukum atas wilayah adat mereka. (*)
Ritual Adat Masyarakat Adat Sihaporas Penyerangan PT TPL