Minggu, 21/09/2025 01:50 WIB

Pengamat: Rakyat Benci Sirene dan Strobo karena Berubah Fungsi Jadi Simbol Hak Istimewa

Sanksi terhadap penyalahgunaan sirene dan strobo pun dinilai Djoko sangat ringan, yakni hanya diancam kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.

Ilustrasi Strobo. Foto: kompas

JAKARTA, Jurnas.com - Pengamat transportasi dan juga akademisi UNIKA Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Djoko Setijowarno menilai, masyarakat tidak suka pada sirene dan rotator atau strobo karena alat itu telah berubah fungsi dari seharusnya sebagai alat keselamatan lalu lintas menjadi simbol hak istimewa berlalu lintas bagi sebagian orang di jalan raya.

“Alasan paling mendasar penolakan masyarakat adalah penyalahgunaan sirene dan rotator,” kata Djoko melalui keterangannya, Sabtu (20/9/2025).

Djoko mengatakan, masyarakat sering melihat kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan. Hal tersebut menimbulkan persepsi bahwa strobo adalah simbol hak istimewa dan bukan alat untuk keselamatan publik.

“Penggunaan yang tidak pada tempatnya ini menciptakan rasa tidak adil dan memicu kemarahan,” kata Djoko.

Djoko menilai, penegakan hukum terhadap penyalahgunaan strobe sangat lemah. Padahal sudah ada aturan yang mengatur siapa saja yang berhak menggunakan sirene dan strobo (seperti mobil ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi).

“Ketidaktegasan penegakan hukum ini membuat banyak orang berani menggunakannya tanpa izin yang akhirnya memperburuk masalah penyalahgunaan,” ujarnya.

Persoalan selanjutnya, sambung Djoko, ketika sirene dan strobo digunakan secara sembarangan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat menurun. Saat mendengar sirene, masyarakat tidak lagi yakin apakah itu benar-benar situasi darurat atau hanya kendaraan yang ingin mencari jalan pintas.

“Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan tidak secepat atau setanggap seharusnya,” kata Djoko.

Selain itu, sanksi terhadap penyalahgunaan sirene dan strobo pun dinilai Djoko sangat ringan, yakni hanya diancam kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.

“Sudah seharusnya masuk dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Sanksi pidana dan denda harus ditinggikan, sehingga ada efek jera bagi yang melanggar aturan itu,” tegas Djoko.

“Langkah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol. Agus Suryonugroho untuk menertibkan penggunaan sirene dan rotator di jalan raya patut diapresiasi. Kebijakan yang bersifat sementara ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengembalikan aturan yang berlaku,” kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini.

Sebagian besar masyarakat setuju bahwa penertiban ini tidak seharusnya hanya sementara. Penggunaan sirene dan rotator di luar peruntukannya sudah menjadi masalah kronis yang memicu ketidakadilan dan kekacauan di jalan.

“Intinya, penggunaan sirene dan rotator yang tidak sesuai aturan menciptakan ketidakadilan, mengganggu ketenangan, dan pada akhirnya merusak esensi dari tujuannya sebagai alat keselamatan,” pugkas Djoko.

Berikut Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur pengguna jalan yang memperoleh hak utama:

(a) kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;

(b) ambulans yang mengangkut orang sakit;

(c) kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;

(d) kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;

(e) kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;

(f) iring-iringan pengantar jenazah; dan

(g) konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 135 dalam Undang-Undang yang sama, menyebutkan Kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.

Berdasarkan Pasl 59 di UU LLAJ 2029, untuk kepentingan tertentu, kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene yang terdiri atas warna merah, biru, dan kuning.

Lampu isyarat warna merah atau biru serta sirene berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. Lampu isyarat warna kuning berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.

Lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk kendaraan bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia (TNI), pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah.

Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek kendaraan, dan angkutan barang khusus.

KEYWORD :

Sirene Rotator Strobo Simbol hak istimewa




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :