Sabtu, 20/09/2025 14:40 WIB

Hadapi Fitnah dengan Sabar dan Tawakal, Jalan Seorang Muslim Jaga Martabat

Meski menyakitkan, fitnah bukanlah hal baru dalam sejarah umat Islam. Sejak zaman para nabi, fitnah telah menjadi bagian dari perjalanan spiritual dan sosial yang harus dihadapi dengan penuh kebijaksanaan.

Ilustrasi - Fitnah (Foto:Tintahijau)

Jakarta, Jurnas.com - Dalam dinamika kehidupan seorang Muslim, fitnah sering kali datang sebagai ujian yang tak kasat mata namun sangat menghancurkan. Tidak hanya menguji emosi, fitnah juga menguji seberapa teguh seseorang bertahan dalam nilai-nilai Islam.

Meski menyakitkan, fitnah bukanlah hal baru dalam sejarah umat Islam. Sejak zaman para nabi, fitnah telah menjadi bagian dari perjalanan spiritual dan sosial yang harus dihadapi dengan penuh kebijaksanaan.

Islam memandang fitnah sebagai cobaan berat yang harus dijawab dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ menyebut orang-orang yang mampu menahan amarah dan memaafkan sebagai golongan yang dicintai-Nya.

Firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 134 menyebutkan bahwa menahan marah dan memberi maaf adalah ciri orang-orang yang berbuat kebaikan. Ini bukan sekadar pengendalian emosi, tetapi bagian dari akhlak luhur yang dijunjung tinggi dalam Islam.

Rasulullah ﷺ adalah contoh nyata bagaimana seorang Muslim merespons fitnah tanpa kehilangan kehormatan. Dalam banyak peristiwa, beliau memilih jalan sabar meski punya kekuatan untuk membalas.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, Nabi ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang mampu menahan amarah padahal punya kesempatan melampiaskannya, akan diberi kemuliaan luar biasa di akhirat. Ini menunjukkan bahwa kesabaran bukan kelemahan, melainkan kekuatan ruhani yang bernilai tinggi.

Sikap ini bukan berarti pasrah tanpa arah. Sebaliknya, Islam mengajarkan untuk tetap berpikir jernih, berdoa, dan memperbanyak amal kebaikan di tengah badai fitnah.

Ketika kehormatan dipertaruhkan, seorang Muslim diperbolehkan mencari kejelasan dan membela diri. Namun, langkah itu harus tetap dalam batas-batas syariat, tanpa menciptakan fitnah baru.

Islam menggarisbawahi pentingnya tabayyun atau klarifikasi sebelum mengambil kesimpulan. Dalam konteks sosial hari ini, ini berarti menghindari reaksi spontan di media sosial yang justru bisa memperkeruh keadaan.

Menjaga lisan adalah benteng utama agar tidak terjerumus dalam balas dendam. Sebab membalas fitnah dengan keburukan hanya memperluas kerusakan yang ada.

Di balik semua itu, doa menjadi senjata paling kuat bagi seorang Muslim yang terzalimi. Doa bukan bentuk keputusasaan, melainkan tanda bahwa hati masih bersandar penuh kepada keadilan Allah.

Rasulullah ﷺ sendiri sering memanjatkan doa agar dijauhkan dari kejahatan manusia dan fitnah yang tersembunyi. Ini menegaskan bahwa kekuatan spiritual adalah pondasi untuk bertahan dalam badai ujian.

Islam juga mendorong agar fitnah dijadikan momen untuk introspeksi diri. Bukan untuk menyalahkan diri sendiri, tetapi sebagai pengingat bahwa setiap peristiwa mengandung hikmah.

Keyakinan bahwa Allah tidak pernah tidur menjadi penenang bagi mereka yang terzalimi. Karena kebenaran tak butuh pembela yang gaduh, cukup waktu yang akan menyingkap segalanya.

Seorang Muslim yang sabar saat difitnah tidak hanya sedang mempertahankan nama baiknya, tapi juga tengah menaikkan derajatnya di sisi Allah. Inilah mengapa sabar dan tawakal bukanlah reaksi pasif, melainkan strategi aktif yang elegan.

Di tengah dunia yang semakin bising dengan opini dan tudingan, sikap sabar adalah bentuk kekuatan sejati. Dan tawakal adalah cara seorang hamba menunjukkan bahwa ia percaya, kebenaran akan menemukan jalannya. (*)

Wallahu`alam

KEYWORD :

Fitnah sabar tawakal ujian Muslim Menjaga martabat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :