Selasa, 14/10/2025 21:38 WIB

AI Bisa Deteksi Gejala Awal Depresi dari Gerakan Halus di Wajah

Penelitian ini berfokus pada kondisi subthreshold depression, yaitu gejala depresi ringan yang belum tergolong klinis tetapi tetap meningkatkan risiko gangguan di masa depan

Ilustrasi wajah (FOTO: SHUTTERSTOCK)

Jakarta, Jurnas.com - Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kini mampu membaca isyarat-isyarat kecil yang tak kasatmata di wajah manusia. Temuan ini datang dari studi terbaru di Jepang yang menunjukkan bahwa AI dapat mengidentifikasi gejala awal depresi melalui ekspresi mikro di mata dan mulut.

Penelitian ini berfokus pada kondisi subthreshold depression, yaitu gejala depresi ringan yang belum tergolong klinis tetapi tetap meningkatkan risiko gangguan di masa depan. Meski tidak tampak jelas secara emosional, kondisi ini bisa memengaruhi cara seseorang dinilai dalam interaksi sosial sehari-hari.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Eriko Sugimori dari Waseda University menggunakan pendekatan yang tak biasa. Mereka merekam video pendek berdurasi sepuluh detik dari para mahasiswa yang memperkenalkan diri di depan kamera.

Sebanyak 64 mahasiswa berpartisipasi sebagai pembicara, sementara 63 lainnya menilai ekspresi para pembicara tanpa mendengar suara mereka. Penilaian mencakup seberapa ramah, natural, dan ekspresif mereka terlihat dalam tayangan tersebut.

AI kemudian menganalisis rekaman menggunakan perangkat lunak OpenFace, yang dirancang untuk mendeteksi gerakan otot kecil di wajah berdasarkan sistem Facial Action Coding. Beberapa gerakan seperti pengangkatan alis bagian dalam, peregangan bibir, dan pembukaan mulut tercatat sebagai sinyal utama.

Hasilnya, peserta dengan gejala depresi ringan dinilai kurang ekspresif dan kurang disukai dibanding peserta lain. Namun mereka tidak dianggap lebih gugup atau berpura-pura, melainkan hanya terlihat lebih datar dalam ekspresi positif.

Temuan ini menguatkan dugaan bahwa depresi tidak selalu tampak sebagai kesedihan, tetapi bisa hadir dalam bentuk hilangnya sinyal sosial positif. Ketika ekspresi semacam ini tak terbaca oleh orang sekitar, respon sosial pun menjadi lebih dingin dan tanpa disadari memperburuk kondisi psikologis.

Menariknya, penilaian dari para pengamat tidak terpengaruh oleh suasana hati mereka sendiri. Ini menunjukkan bahwa ekspresi wajah pembicara memang menyampaikan sesuatu yang objektif, bukan sekadar interpretasi subjektif penonton.

Karena penelitian dilakukan di Jepang, konteks budaya juga menjadi pertimbangan. Norma sosial di negara tersebut cenderung menekankan pengekangan emosi, terutama dalam situasi formal seperti perkenalan singkat.

Meski begitu, pola ekspresi yang dikenali AI tetap konsisten, terutama pada area mata dan mulut. Temuan ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menyebut pengamat dari Asia Timur cenderung lebih fokus pada gerakan mata dibanding mulut.

Dengan format video pendek yang sederhana, metode ini dinilai cocok diterapkan dalam lingkungan seperti sekolah atau tempat kerja. Teknologi ini dapat menjadi alat pemantauan awal tanpa harus melibatkan proses diagnosis klinis yang kompleks.

Sugimori menyebut bahwa pendekatan ini bisa diintegrasikan dalam platform kesehatan digital yang menggunakan kamera, selama pengguna memberikan persetujuan yang jelas. Proses ini tetap membutuhkan tinjauan manusia agar hasilnya tidak menjadi label otomatis yang merugikan.

Meski menjanjikan, studi ini memiliki keterbatasan karena hanya melibatkan mahasiswa Jepang dan menggunakan metode pelaporan mandiri. Oleh karena itu, pengujian lebih lanjut dibutuhkan pada kelompok yang lebih beragam secara budaya dan usia.

Privasi dan etika tetap menjadi perhatian utama dalam penerapan teknologi semacam ini. Peserta harus tahu secara rinci apa yang direkam, bagaimana data disimpan, dan siapa yang memiliki akses terhadapnya.

Sugimori menegaskan bahwa tujuan utama riset ini adalah menyediakan metode deteksi dini yang mudah diakses dan tidak invasif. Dengan penerapan yang hati-hati dan transparan, teknologi ini dapat membuka jalan bagi intervensi lebih cepat dalam menjaga kesehatan mental.

Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal ilmiah Scientific Reports dan membuka peluang untuk studi lanjutan yang lebih luas. Salah satu arah ke depan adalah melihat apakah pola ekspresi ini juga berubah seiring proses pemulihan seseorang dari depresi. (*)

Sumber: Earth

KEYWORD :

Kecerdasan Buatan AI Deteksi Gejala Awal Depresi Raut Wajah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :