
Ilustrasi - Mengendalikan nafsu (Foto: Islam Ramah)
Jakarta, Jurnas.com - Dalam pandangan Islam/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Islam, nafsu merupakan bagian dari fitrah manusia yang diciptakan Allah sebagai potensi yang bisa mengarah pada kebaikan maupun keburukan. Tidak semua nafsu bernilai negatif, ada bentuk nafsu yang justru dicintai oleh Allah SWT.
Karena itu, nafsu diposisikan sebagai ujian hidup yang melekat pada diri setiap insan. Ia tidak selalu berwajah buruk, tergantung bagaimana manusia mengelolanya.
Al-Qur’an menggambarkan nafsu dalam beberapa bentuk, yang masing-masing mencerminkan kondisi jiwa seseorang. Tiga di antaranya yang paling dikenal adalah nafsu ammarah, lawwamah, dan muthmainnah.
Nafsu ammarah adalah jenis nafsu yang condong pada keburukan, mendorong manusia mengikuti hawa tanpa kendali. Sedangkan nafsu lawwamah muncul ketika hati mulai sadar, menyesal, dan mengkritik diri sendiri atas dosa.
Sementara itu, nafsu muthmainnah menggambarkan jiwa yang tenang, tunduk, dan diridhai Allah. Inilah tingkat tertinggi dari perjalanan spiritual seorang hamba.
Namun untuk mencapai ketenangan itu, manusia harus melalui perjuangan yang tidak ringan. Dalam hadits disebutkan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu.
Pernyataan ini menegaskan bahwa godaan bukan selalu datang dari luar, tetapi dari dalam diri sendiri. Nafsu yang tidak dikendalikan bisa menjerumuskan pada kesombongan, kemaksiatan, dan kehancuran.
Meski begitu, Islam/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Islam tidak mengajarkan untuk menekan nafsu secara mutlak. Justru, nafsu dianggap sebagai energi yang harus diarahkan agar selaras dengan syariat.
Dari nafsu pula muncul semangat hidup, rasa cinta, keinginan bekerja, dan motivasi berbuat baik. Masalahnya bukan pada keberadaan nafsu, melainkan pada arah dan pengendaliannya.
Oleh sebab itu, iman dan ilmu menjadi dua kompas utama untuk menuntun nafsu ke amal yang benar. Iman menjaga hati tetap sadar akan akhirat, sementara ilmu memandu logika untuk mengenali batas.
Dzikir dan ibadah menjadi cara efektif untuk menenangkan gejolak jiwa. Dalam ibadah seperti puasa, umat Islam/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Islam diajarkan menahan diri, menundukkan syahwat, dan melatih kedisiplinan spiritual.
Prinsipnya bukan memusuhi nafsu, tapi menjadikan ia alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena ketika nafsu tunduk pada iman, ia justru menjadi sumber pahala.
Lebih dari itu, ada bentuk nafsu yang justru dicintai oleh Allah. Yaitu nafsu yang telah dijinakkan, ditundukkan, diarahkan, dan dikendalikan untuk amal kebaikan dan ketakwaan.
Hal ini tergambar dalam konsep nafsu muthmainnah sebagaimana disebut dalam Surah Al-Fajr ayat 27 hingga 30. Jiwa yang tenang dan diridhai akan dipanggil masuk ke dalam surga, sebagai bukti cinta dan penerimaan dari Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, nafsu bisa menjadi jalan pahala jika disalurkan secara benar. Nafsu untuk mencari ilmu, mencari nafkah, bahkan mencintai pasangan—semua bisa bernilai ibadah jika dilandasi niat karena Allah.
Sebaliknya, jika nafsu dibiarkan liar tanpa arah, manusia bisa jatuh ke dalam kehinaan. Al-Qur’an telah mengingatkan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsunya akan jauh dari petunjuk.
Namun bagi mereka yang mampu menahan diri dan mengarahkan nafsunya, surga adalah balasan yang dijanjikan. Hal ini tercantum jelas dalam Surah An-Nazi’at ayat 40–41.
Dengan demikian, memahami nafsu adalah langkah awal menuju kedewasaan spiritual. Ia bukan musuh yang harus hapuskan atau dimatikan, melainkan amanah yang wajib dikendalikan. (*)
Wallahu`alam
KEYWORD :Nafsu Islam Islam Amanah ujian iman Pengendalian nafsu