Jum'at, 19/09/2025 16:05 WIB

Studi: Badan Kurus Bisa Lebih Berbahaya daripada Kegemukan

Penelitian ini melibatkan lebih dari 85.000 orang dewasa dan menemukan bahwa mereka yang memiliki indeks massa tubuh (BMI) di bawah 18,5 berisiko hampir tiga kali lebih tinggi untuk meninggal dini.

Ilustrasi ukuran badan atau berat badan (Foto: Doknet)

Jakarta, Jurnas.com - Pandangan umum bahwa tubuh kurus identik dengan kesehatan serta kelebihan badan berkaitan dengan risiko terkena berbagai penyakit yang mematikan kembali dipertanyakan. Sebuah studi besar dari Denmark menunjukkan bahwa risiko kematian justru meningkat signifikan pada individu dengan berat badan di bawah normal.

Penelitian ini melibatkan lebih dari 85.000 orang dewasa dan menemukan bahwa mereka yang memiliki indeks massa tubuh (BMI) di bawah 18,5 berisiko hampir tiga kali lebih tinggi untuk meninggal dini. Sementara itu, mereka yang berada dalam kisaran 22,5 hingga 24,9 memiliki tingkat risiko terendah.

Temuan ini disampaikan dalam konferensi tahunan European Association for the Study of Diabetes dan masih menunggu proses peer-review. Meski demikian, data awal menunjukkan pola risiko yang membentuk kurva U, di mana risiko tertinggi muncul pada BMI paling rendah dan paling tinggi.

Menariknya, individu yang tergolong kelebihan berat badan, bahkan hingga kategori obesitas ringan, tidak menunjukkan peningkatan risiko kematian yang signifikan. Justru mereka yang memiliki BMI antara 25 hingga 35 cenderung memiliki tingkat risiko serupa dengan kelompok "sehat".

Hal ini menantang anggapan bahwa berat badan ekstra selalu berdampak buruk bagi kesehatan. Sebaliknya, memiliki cadangan lemak dalam jumlah moderat ternyata dapat membantu tubuh bertahan saat menghadapi penyakit serius.

Dalam konteks medis, lemak bukan hanya sekadar beban, melainkan juga sumber energi penting, terutama saat tubuh berada dalam kondisi krisis. Misalnya, pasien kanker yang kehilangan nafsu makan cenderung mengalami penurunan berat badan drastis, dan mereka yang memiliki cadangan energi lebih memiliki peluang pemulihan yang lebih baik.

Selain itu, penurunan berat badan yang tidak disengaja sering kali menjadi tanda awal penyakit kronis seperti kanker atau diabetes tipe 1. Dengan kata lain, BMI yang rendah kadang mencerminkan kondisi kesehatan tersembunyi yang belum terdiagnosis.

Berdasarkan temuan ini, para peneliti mempertanyakan relevansi kisaran BMI "sehat" yang selama ini digunakan secara global. Mereka menyarankan bahwa rentang BMI dengan risiko kematian paling rendah bisa jadi berada antara 22,5 hingga 30, bukan berhenti di angka 24,9 seperti panduan saat ini.

Namun, ini bukan berarti kelebihan berat badan bisa diabaikan sepenuhnya. Peneliti mencatat bahwa BMI di atas 40 tetap menunjukkan peningkatan risiko kematian lebih dari dua kali lipat.

Meski demikian, studi ini memperkuat pandangan bahwa BMI adalah alat ukur yang terbatas dan terlalu menyederhanakan kompleksitas kesehatan tubuh manusia. Indeks ini tidak mempertimbangkan faktor penting lain seperti distribusi lemak, massa otot, pola makan, serta latar belakang genetik dan budaya.

BMI dikembangkan hampir dua abad lalu berdasarkan data pria kulit putih Eropa dan hingga kini masih digunakan luas, meski tidak lagi sepenuhnya relevan untuk populasi yang beragam. Beberapa negara memang telah menyesuaikan ambang batas BMI berdasarkan etnis, namun pendekatan ini masih jauh dari sempurna.

Masalahnya, BMI masih dijadikan dasar pengambilan keputusan medis penting, seperti akses ke program fertilitas atau prosedur operasi tertentu. Padahal, keputusan seperti itu seharusnya mempertimbangkan penilaian yang lebih komprehensif dan kontekstual.

Dalam dunia ideal, profesional kesehatan seharusnya mengandalkan data yang lebih rinci seperti tes darah, pemindaian tubuh, serta informasi gaya hidup pasien. Namun karena akses terhadap pemeriksaan ini terbatas, BMI masih digunakan sebagai alat praktis meskipun tidak selalu akurat.

Studi Denmark ini memang masih bersifat awal, tetapi cukup kuat untuk kembali menegaskan bahwa kurus bukan jaminan sehat. Sebaliknya, membawa sedikit berat ekstra justru bisa menjadi faktor pelindung di kondisi tertentu.

Pesan penting dari penelitian ini bukan sekadar mengubah standar BMI, melainkan mengingatkan bahwa kesehatan tidak bisa dinilai hanya dari angka di timbangan. Tubuh manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar hitungan berat dan tinggi badan. (*)

Sumber: Scinence Alert

KEYWORD :

Studi Berat Badan Tubuh kurus Tubuh gemuk Risiko penyakit




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :