
Ilustrasi - Kalimat Muhammad Rasulullah membentang dan menyala di atas mesjid (Foto: Pexels/Zeki Okur)
Jakarta, Jurnas.com - Dalam sejarah kepemimpinan umat manusia, nama Nabi Muhammad SAW tak pernah luput dari perbincangan. Bukan hanya karena kenabiannya, tetapi karena keteladanan akhlaknya yang menyentuh seluruh lapisan umat.
Rasulullah SAW bukan pemimpin yang memerintah dari menara gading. Ia turun langsung ke tengah masyarakat, mendengar, merasakan, lalu bertindak. Empati beliau bukan sekadar belas kasihan, tapi dorongan tulus untuk hadir dan melayani, terlebih terhadap mereka yang hidup dalam kekurangan, perhatian beliau tak pernah berkurang sedikit pun.
Sebuah riwayat menyentuh dari Abu Sa’id al-Khudri mengungkapkan doa beliau yang luar biasa dalam maknanya. Rasulullah berdoa, "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaan miskin, dan bangkitkanlah aku bersama orang-orang miskin."
Panduan Sunnah untuk Menyempurnakan Sholat Jumat
Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, doa itu tak hanya mencerminkan kesederhanaan hidup, tetapi juga ikatan batin yang mendalam dengan golongan yang paling rentan. Beliau tak sekadar membela mereka, tetapi ingin menjadi bagian dari mereka, di dunia hingga akhirat.
Empati seperti itu nyaris tak ditemukan pada pemimpin dunia hari ini. Di saat jabatan sering dijadikan alat dominasi, Rasulullah justru menjadikannya ladang pengabdian.
Sabda beliau menegaskan, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." Ini bukan retorika, karena beliau benar-benar hidup dalam prinsip itu.
Rasulullah selalu menjadi orang terakhir yang makan dan minum dalam rombongan. Bahkan dalam kondisi perang, beliau lebih memikirkan keselamatan pasukannya dibanding dirinya sendiri.
Kepemimpinan seperti ini membuktikan bahwa empati bukan kelemahan, tetapi kekuatan hakiki. Ia menjadikan seorang pemimpin dicintai bukan karena kekuasaan, melainkan karena ketulusan.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah mengingatkan bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Setiap dari kita akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kita pimpin, baik itu keluarga, masyarakat, hingga amanah pribadi.
Masih dikutip dari laman Nahdlaul Ulama, Imam Nawawi dalam syarahnya menegaskan bahwa pemimpin adalah penjaga, pengemban amanah, dan penanggung jawab atas kebaikan yang ia urus. Artinya, kepemimpinan adalah tugas moral, bukan sekadar status sosial.
Kesadaran inilah yang menjadikan Rasulullah tidak pernah lelah memperhatikan umatnya, bahkan dalam hal-hal yang paling kecil. Dari menenangkan anak kecil yang menangis di masjid, hingga menegur sahabat yang berbuat kasar kepada pelayan.
Kelembutan beliau adalah bentuk nyata dari empati yang hidup dan menggerakkan. Dalam setiap langkahnya, Rasulullah mengajarkan bahwa memimpin berarti memahami, bukan hanya memerintah. Bahkan, menjelang ajalnya tiba, Rasulullah SAW masih memikirkan nasib umatnya.
Hari ini, di tengah berbagai krisis kemanusiaan dan ketimpangan sosial, model kepemimpinan seperti Rasulullah menjadi semakin relevan. Dunia butuh pemimpin yang bukan hanya pintar, tapi juga peduli.
Empati bukan sekadar perasaan, melainkan fondasi dari keputusan-keputusan besar yang menyelamatkan banyak jiwa. Rasulullah sudah mencontohkannya sejak berabad-abad lalu.
Kini, tugas kita bukan hanya mengagumi beliau, tapi juga meneladaninya dalam peran-peran kecil yang kita jalani. Sebab, setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. (*)
Wallahu`alam
KEYWORD :Teladan Empati Rasulullah SAW Kepemimpinan